Sunday, January 20, 2008

1001 kisah

GELANG YANG MEMBERI UNTUNG
" Yeni, bangun ! Sudah siang ! " teriak Sari, ketika melihat adiknya tertidur lagi. Setiap hari selalu begitu. Sari adalah seorang anak cerdas yang kalau lagi galak bisa membuat sebuah rumah hancur berkeping - keping. Sedang Yeni seorng anak yang sebenarnya pandai, tapi kalau lagi malas bodohnya bukan main. Mereka keluarga sedehana di sebuah komplek perumahan mewah. Hari ini lain dari biasanya, Sari terlambat bangun sehingga Yeni membangunkannya. " Kak, bangun ! Nanti terlambat ke sekolah !" teriak Yeni. " Apa kamu tidak salah ?" seru Sari ketika melihat adiknya sudah berpakaian rapi. " Tidak !" jawab Yeni. " Inikan hari Minggu !" balas Sari. Yeni merasa malu. Sari tertawa lalu disusul tawa Yeni. Tiba-tiba Ting.. Tong.. suara bel pintu berbunyi. Yeni membukakan, ternyata ibu. " Hai, anak-anak ! Bantu ibu bawa belajaan ! " kata ibu. " Ya, Bu ! " kata Sari. Setelah semua belanjaan selesai di bereskan, ibu bercerita. " Anak-anak, Tante Yosi akan datang. Dia teman SMA ibu dulu. Sekarang dia tinggal di Sukabumi. Katanya ia ingin berlibur di Jakarta. Makanya ia meminta ijin untuk menginap di rumah kita. " cerita ibu. " Boleh, Bu ! Asal kamarku tidak digusur ! " kata Sari bercanda. " Baiklah, tante Yosi akan datang hari Sabtu ! " lengkap ibu. " Wah, besok, dong ! Tante Yosi sudah tahu rumah kita ?" tanya Yeni. Ibu menjawab dengan anggukkan. Hari yang di tunggu tiba, Yeni tak sabar menunggu bel pintu berbunyi. Tiba-tiba Ting.. Tong.. , ibu segera membuka pintu. " Hai, Yosi ! Akhirnya kamu sampai juga !" seru ibu. Tante Yosi masuk, lalu ibu memperkenalkan Yeni dan Sari. Setelah cukup lama berbincang -bincang, Sari mengantar Tante Yosi menuju kamar. Yeni sangat kagum pada tante Yosi. Pakaiannya bagus-bagus, orangnya cantik, suka bercanda, dan hal lain yang membuat Sari dan Yeni menyukainya. Setiap hari hubungan mereka bertambah dekat. Tapi dibalik semua itu, tersimpan maksud jahat yang akan menjadi kegemparan. Suatu siang, Sari membuatkan tante Yosi gelang ronceannya sendiri yang bila digoyang-goyang akan berbunyi. Tante Yosi amat senang, setiap hari gelang itu dipakainya. Hingga suatu malam larut Tante Yosi keluar dari kamarnya dan mengendap-endap menuju kamar Sari. Tante Yosi masuk, lalu menutup pintunya pelan-pelan. Tante Yosi tahu dimana biasanya Sari menyimpan uangnya. Sebenarnya Sari terbangun tetapi ia tak dapat membuka matanya. Tante Yosi membuka laci meja Sari, tanpa sengaja gelangnya berbunyi. Dengan segera ia keluar kamar dan kembali ke kamarnya. Esoknya, pagi-pagi sekali Tante Yosi sudah pergi. Ia hanya meninggalkan secarik kertas. Sari terbangun ketika tante Yosi baru saja pergi. Sari segera menuju ke kamar Tante Yosi. Ketika tiba ia kaget, lalu segera membaca surat. Ternyata isinya bahwa tante Yosi hanya pergi ke pasar. Benar, tasnya masih ada. Ketika hari mulai siang, tante Yosi pulang membawa banyak belanjaan. Sari mendapat baju warna ungu dengan hiasan bunga tulip. Yeni mendapat pita rambut bergambar beruang dan sebuah jepitan beruang. Ibu mendapat celemek masak berwarna merah jambu. Hari mulai sore, ibu sedang membuat masakan spesial. Ketika hidangan matang, Kring…… telepon berbunyi. Ternyata ayah, ia mengabarkan bahwa nanti ia pulang terlambat. Sari dan Yeni keluar dari kamar, dan langsung menghampiri meja makan. Di situ tersedia ikan bakar, ayam panggang, dan makanan mewah lainnya. " Sayang ayah pulang malam !" guman Yeni. Setelah makan Sari masuk kamar, ingin menghitung uangnya. Sebab besok ibunya berulang tahun. sari membuka laci mejanya, ia mencari amplop uangnya. Lama ia mencari, hasilnya sia-sia. Ia keluar kamar. " Yeni, lihat amplop uangku tidak ? " tanya Sari berteriak. "Tidak !" jawab Yeni. " Ada apa sih?" tanya ibu. Sari menceritakan semua yang ia alami. Tante Yosi juga mendengarkan. " Memang kamu perlu sekali uang itu? " tanya tante Yosi. Sari menggangguk. " Tante bisa pinjamkan !" " Tak usah ! Merepotkan saja !" kata Sari. Akhirnya Sari dan Yeni tidak dapat membelikan hadiah untuk ibunya. Uang itu adalah hasil kerja keras mereka. Mereka menyisihkan uang jajan untuk itu. Esoknya, pagi-pagi sekali suasana rumah sudah ramai. ternyata uang gajian ayah hilang. Ya, itu pasti ulah tante Yosi. Ibu merasa bersalah. Sari dan Yeni mulai curiga dengan ulah tante Yosi. Hingga suatu hari mereka membuat rencana tak terduga. Ibu dan ayah juga mereka beri tahu. Pagi hari sebelum ayah berangkat kerja, dengan diam-diam Yeni meminjam uang Rp 200.000,00 dari ayah. Setelah ayah berangkat, mereka mulai beraksi. " Tante Yosi, sini deh !" panggil Yeni dari ruang tamu. 'Ada apa sih ? Kok kelihatannya senang sekali !" jawab Tante Yosi sambil mendekati Yeni. "Aku diberi uang Rp 200.000,00 sama ayah ! " kata Yeni. " Ia ! Itu untuk kami berdua ! " tambah Sari. " Aku akan menyimpannya di laci !" Di dalam benak tante Yosi terdapat sebuah rencana jahat. Malam tiba Sari dan Yeni tidur duluan. Yeni tidur di kamar Sari. Yeni tidur dulu, sedang Sari berjaga-jaga. Begitu diluar mulai sepi, Sari dan Yeni mulai waspada. Mereka tahu pasti nanti tante Yosi datang untuk mengambil uang. Malam mulai larut, tiba-tiba KRIET suara pintu terbuka. Yeni dan Sari berpura-pura tidur. Sari mengintip dari balik selimut. Itu tante Yosi. Pelan-pelan tante Yosi membuka laci tempat uang disimpan. Ia mengambil amplop uang. Lalu membuka pintu dan Dor……….. teriak Sari dan Yeni. Yeni menyalakan lampu, Sari menarik tangan tante Yosi. Tante Yosi mulai ketakutan. Yeni lari keluar untuk memanggil ayah dan ibu. Sari memegang ke dua tangan tante Yosi. Beberapa saat kemudian, ayah, ibu,dan Yeni datang. Ibu geleng-geleng. Ayah amat heran. Setelah itu Tante Yosi mengaku. ternyata semua uang yang hilang ia ambil. Dengan sebab tertentu. Tante Yosi minta maaf pada semuanya. Esoknya, tante Yosi pulang ke Sukabumi. Setelah tante Yosi pergi ayah bertanya, " Bagaimana cara untuk memastikan bahwa tanteYosi itupencuri, Sar? " " Ah, itu sih hanya kebetulan !" jawab Sari. " Ia, Kak Sari membuat gelang yang berbunyi untuk Tante. Tante memakainya setiap hari. Waktu uang Kak Sari diambil, tidak sengaja gelangnya berbunyi, Yah !" cerita Yeni. "Ah, ada-ada saja!" kata ayah sambil merangkul keluarganya.
BEKASI, SEPTEMBER 2001
ARUL MAIN BOLA
Siang itu, hari teramat panas. Pak Rojali, ayah Arul, yang baru saja pulang dari 'TK' alias Tempat Kerja, langsung mencari anak semata wayangnya. " Bu, Arul mana ? Oh, ya makanan untuk ' lunch ' udah siap belum ? " tanya sang ayah. " Arul ada di kamarnya ! Terus itu makanannya udah disiapin, hari ini ibu masak sayur asem en ' salt fish ' alias ikan asin kesukaan bapak ! " jawab ibu. Memang keluarga ini unik, mereka selalu menyelipkan kata-kata dalam bahasa Inggris dalam setiap kalimat. Setelah ganti pakaian ayah masuk ke kamar Arul. " Rul, lihat nih ! Bapak bawa apa ? " tanya ayah. "Wah a ball ! Gambar Digimon lagi ! Wow, ada Wargreymon, Metalgarurumon dkk. ! " kata Arul. " Mana sun-nya ! " pinta ayah. " It's very good, yah ! Thank's ya ! Um……ah ! " ucapan terima kasih dari Arul. " Tapi ini kan dari Uncle and Aunt Vin di USA ! " jelas ayah, " Rul, makan yuk ! " Arul menggangguk. Mereka berdua makan dengan lahapnya. Setelah selesai, Arul pamit untuk pergi main bola. Sedang ayah pergi ke rumah Pak RT ada rapat. Di lapangan teman-teman Arul udah pada kumpul, bukan karena dipanggil Arul tapi emang mereka dateng sendiri. " Rul ! Arul ! Woi…. ! Main bola yuk ! " panggil Dimas. " Kebetulan nih ! Aku baru aja dibeliin sama paman-ku yang di USA ! " tutur Arul. " Dibeliin apa ? " tanya Deri penasaran. " Ini soccer ball yang ada gambar digimonnnya ! Terus kalau dipencet gambarnya bisa berubah lho ! " kata Arul sambil memperlihatkan bola yang dari setadi di umpetin. Mereka semua main bola bersama. Ketika Faris menendang bola, bola itu melayang tinggi dan jatuh tepat di halaman belakang rumah tua. Isunya rumah itu dihuni oleh segudang hantu. Arul mau menangis kelihatannya. " Tenang, Rul ! Biar aku yang ngambil tapi kamu nemenini aku, ya ! " mohon Faris. Arul menggangguk. " Tapi, Ris ! Sebentar lagi magrib ! Mending kamu ambil n'tar malem ! " kata Deri. " Tunggu, lagipula kata ibu dan ayahku kalau rumah yang sudah lama tidak dihuni tidak boleh didatangi malam-malam ! Terus kalau mau dateng mesti jam 12.00 malem ! Suer ! " kataDimas. Arul percaya aja. Arul tidak melihat Dimas, Deri, dan Faris berkedipan mata, pasti sesuatu yang unik bakal terjadi. Demi bola terbagus yang pernah ia miliki, ia berani walaupun harus lawan setan pun. Apa buktinya ? Malam itu Arul kabur lewat belakang. Faris sudah menunggu di lapangan. Mereka berdua berjalan sambil bergandengan tangan. Ketika mendekati rumah tua itu, angin sepoi-sepoi bertiup. Arul merinding. Lampu di rumah itu nyala redup. Arul mendengar jelas bahwa ada yang berbicara di dalam sana, tapi Faris tidak mendengarkan apa-apa. Ketika Arul mendekati bolanya, ada orang berteriak : " Ah…………! Please, stop ! Jangan sentuh aku ! " Arul mengambil bolanya lalu berlari ke arah Faris. Tiba-tiba " cut " terdengar seseorang berbicara " Kamu ini bagaimana ? Sudah saya bilang kalau teriak dengan ekspersi ketakutan bukan kaya orang happy gitu dong ! " Piuh………..ternyata itu hanya suara orang yang sedang mengambil adegan di dalam rumah tua. " Kamu mau lihat ke dalam ? " tanya Faris. " Memang kamu berani masuk ? " Arul balik nanya. " Ayahku di dalam kok ! Jadi sutradara film yang judulnya ' Mimpi Pembawa Sesat ' ! " kata Faris sambil tersenyum. Lalu Faris menceritakan semua rencana yang dia susun rapi. Ternyata Arul hanya di tes keberaniannya. Setelah itu mereka masuk ke dalam. Untung besok libur, coba kalau nggak. Sekarang aja udah jam 00. 30 malem, bisa-bisa mereka bolos sekolah karna ngantuk berat.Di dalam ada banyak artis terkenal, seperti Peggy Melati, Dian Nitami, Anjasmara, Dimas D., Cindy Cenora, Jihan Fahira, Thomas Jgorgy, Jeremy Thomas, dll. Itu adalah pengalaman yang tak akan dilupakan Arul. Akhirnya jarum jam menunjukkan pukul 03.30 pagi. Syuting pun telah rampung. Arul berjalan kembali ke rumah, ditemani Faris tentunya. Tapi sebelum Arul pulang, ia sempat dikasih boneka sama Cindy Cenora. Senang sekali rasanya. Arul berjanji akan selalu mengingat peristiwa itu. Sampai di kamarnya, Arul segera merebah diri. Sambil memeluk bola dan boneka, ia tertidur lelap. Yang terjadi di pagi harinya teramat dasyat ! Arul bangun kira-kira jam 08.30. Tetapi ia tidak menemukan bola dan bonekanya. Ia bertanya pada ayah, " Pak ! Bola Arul mana ? Bapak umpetin ya ? Arul pengen main soccer nih ! " " Bola apaan Rul ? " tanya ayah juga. " Itu yang bapak bawain ! Yang katanya dari Uncle and Aunt Vin di USA ! " jawab Arul. " Di USA ? Perasaan Uncle ama Aunt Vin tinggalnya di Australi deh bukan di Amrik ! " jelas ayah. Arul percaya kalau itu cuma mimpi. Tapi siang itu ia membongkar lemarinya. Dan apa yang ia temukan ? Boneka ! Yang dikasih sama Cindy Cenora ! Terus diselipan kupingnya ada surat. Bunyinya :
Buat Arul,Sory ya ! Kemarin aku mempermainkanmu ! Aku yang sebenarnya pura-pura jadi Faris. Maksudku, aku yang menguasai pikiranmu. Tapi kejadian kemarin memang terjadi beneran. Soal bola itu, aku yang masuk ke dalam pikiran ayahmu. Aku merasa bersalah karena ngisengin kamu ! Pasti kamu kira itu benar terjadi, tapi itu semua cuma rekayasa ! Sebagai tanda permintaan maafku, aku kasih boneka ini sama kamu. Tolong jaga boneka ini, ya !Dari : Cindy Cenora
Aneh kan ? Jadi sebenernya itu mimpi apa kenyataan sih ? Nah…..lho !Tamat
BEKASI, SEPTEMBER 2001
Sabtu, 2008 Januari 19

LIBURAN TELAH TIBA
Hari minggu aku sedang bermain komputer, aku sering belajar main internet yangBloger yaitu menulis puisi,karangan dan liburan aku sering menghabiskan waktukuUntuk mengerjakan perkerjaan setiap hari dan aku sering bermain dengan adikSesudah main komputerCita –citaku adalah menjadi insinyurHobiku adalah suka makan buah yang enak dan jus alpukat dikasih coklatBapak yang mengajariku internet setiap hari,dan aku sering menonton tvGhani dan putri adalah adiku ghani:cita – citanya jadi penyanyiPutri:cita citanya jadi cinderelaKalo sekolahku libur panjang aku kerumah mbah


Pergi ke kebun binatang dan kami sudah lama tidak naik mobil daihatsu selamanya dan bapak mengajak kami naik mobil lalu bapak mengajak aku naik mobil ke bonbin dan pertamanya bisnis dulu di surabaya dan kami sehabis bisnis lalu langsung berangkat ke bonbin dengan senang hatinya kami ke bonbin lalu ghani dan putri senang sekali lalu kami makan dulu sebelum ke bonbin lalu kami sudah sampai di bonbinlalu ditempat parkir kami beli kacang untuk makanan hewanlalu kami foto di dekat unta lalu bapk didilat unta clek bapak fotonya jadi didilat unta deh hi..... lucu ya, lalu aku melihat lihat hewan ada singa ,harimau,ayam.buaya dan lain lain kami terus pulangku sore dan aku hampir kemalaman kalo sampai aku lalu makan dan aku tidur jam 9.00 adil dliyaurrahman
Sahabatku Ayu
Oleh: Mudjibah Utami (Bobo No. 05/XXXI)
Minggu agak mendung. Dengan enggan Ruri melangkah ke warung. Ibu menyuruh membeli tomat. Ketika berbelok ke jalan Merak, Ruri tertegun. Rumah nomor 2 dari ujung kanan tampak sibuk. Agaknya ada penghuni baru yang akan menempati rumah berpagar kuning itu. Sambil lalu Ruri memperhatikan orang-orang yang sibuk mengangkut barang. Seorang gadis berkepang dua muncul dari pintu samping. Ia membawa kardus coklat. Ruri terpana. Rasa-rasanya ia mengenali gadis itu. Bukankah itu Ayu? “Ayu!” pekik Ruri girang. Mendengar seseorang menyebut namanya gadis itu terkejut. “Ruri! Baru saja aku mau cari rumahmu. Ini ada titipan dari kakekmu,” ujar Ayu seraya mengangsurkan kardus. “Kau akan tinggal di rumah ini?” “Ya.” “Kenapa tidak cerita padaku waktu aku mengunjungi Kakek minggu lalu?” tanya Ruri kecewa. Ayu, sahabatnya itu tinggal di sebelah rumah Kakek. “Maaf. Aku sengaja merahasiakan ini karena ingin membuat kejutan untukmu. Nah, sekarang aku menjadi tetanggamu. Besok aku menjadi teman sekelasmu.” “Kau? Idih jahat!” teriak Ruri seraya mencubit Ayu gemas. Sejak itu persahabatan Ruri dan Ayu semakin erat. Setiap sore Ayu belajar di rumah Ruri. Banyak materi pelajaran yang belum diberikan di sekolah Ayu sebelumnya. Jadi ia harus belajar lebih keras agar tidak tertinggal dari teman-temannya. Ruri dengan senang hati mengajari Ayu. Ruri pun tidak segan-segan menemani Ayu ke mana-mana. Ayu belum mengenal sudut-sudut kota ini. Jadi Ruri siap memberikan pertolongan bila Ayu membutuhkan. Pagi itu Ruri sedang menyisir rambut ketika Ayu mengetuk pintu. “Ri, tolong dong. Aku belum mengerjakan PR IPA. Semalam aku capai sekali. Pinjam pekerjaanmu, ya.” Ruri tersentak mendengar permintaan Ayu. Rasanya ia ingin marah. Ruri paling tidak suka pada teman yang mencontek PR-nya. “Tolong aku, Ri! Sekali ini saja. Janji deh!” Ayu memohon. Dengan menahan kecewa Ruri menyerahkan buku PR-nya. “Ah, Ayu kan berjanji hanya untuk kali ini,” hibur Ruri terhadap dirinya sendiri. Ia berusaha menghibur kekecewaaannya dalam-dalam. Sebulan telah berlalu. Ruri sudah melupakan peristiwa itu. Namun kembali Ayu mengecewakan Ruri. Ia tidak membawa kertas lipat ketika pelajaran ketrampilan. Padahal semingu sebelumnya Bu Ani sudah meminta para siswa mencatat peralatan yang harus dibawa saat pelajaran ketrampilan. “Kenapa kau tidak membawa sendiri?” tanya Ruri sengit. “Aku lupa belum beli. Aku pikir minta kamu dulu kan tidak apa-apa. Nanti aku ganti,” jawab Ayu enteng. Ruri kesal sekali. Ternyata kesediannya membantu Ayu selama ini telah menyebabkan Ayu bergantung kepadanya. Ruri memang senang membantu. Namun bila kemudian menjadi tempat bergantung, tentu saja ia tidak suka. Aku harus berterus terang pada Ayu, tekad Ruri. Tapi kalau Ayu marah bagaimana? “Huh!” dengus Ruri kesal. “Kenapa, Ri?” tanya Ayu. Tanpa sengaja Ruri mendengus terlalu keras agaknya. “Ah, tidak apa-apa,” jawab Ruri menutupi. “Kamu kesal aku minta kertasmu, ya? Nanti aku ganti, Ri. Berapa harganya sih?” Ruri menatap Ayu. Dengan ragu ia pun berkata pelan. “Harga kertas itu tidak seberapa, Yu. Tapi….” “Lalu apa?” “Aku tidak suka kau selalu bergantung padaku. Sampai-sampai PR pun kau mencontek pekerjaanku. Itu akan merugikan dirimu sendiri.” Ayu terbelalak. Ucapan Ruri betul-betul menghujam hatinya. Tapi, itu semua karena Ruri memperhatikannya. Ayu malu sekali. “Maafkan aku, Ri! Mulai saat ini aku akan berusaha untuk tidak selalu mengharapkan pertolonganmu,” ujar Ayu lirih. Ruri tersenyum. Ia menepuk pundak Ayu. Betapa leganya Ruri. Ternyata berterus terang pada saat yang tepat itu lebih baik daripada menyimpan masalah.
Kampung Berwarna Paman Niko
Oleh: Maria Erliza (Bobo No. 45/XXIX)
Karla merengut. Sudah dua hari ini ia kesal pada mamanya. Sebab Mama belum juga membelikan rumah boneka Barbie, yang sudah lama diinginkannya. Padahal Vidia dan Shiva, teman sekelasnya di SD Nusa Bangsa, sudah memiliki rumah boneka itu. Kemarin Shiva memang mengajak Karla bermain rumah boneka bersama di rumahnya. Tapi Karla malas. Ia ingin memiliki rumah boneka sendiri. Lengkap dengan ruang tamu, kamar boneka dan dapur. Semua serba kecil, mungil, tapi sangat mirip dengan aslinya. Aah, pasti menyenangkan bermain boneka bila ada rumah bonekanya, pikir Karla. Ting Tong! Terdengar bel pintu berbunyi. Tapi Karla sengaja tidak beringsut dari sofa ruang tamu. Dia masih kesal. Akhirnya Mama yang sedang sibuk menyiapkan makan siang di meja makan, terpaksa berjalan menuju pintu. Hm, tebak siapa yang datang? Paman Niko! Ia adik Mama. "Hallo! Karla dimana, Mbak?" tanya Paman Niko pada Mama. Kepalanya celingukan. Biasanya Karla langsung menghambur dan menyambut kedatangan Paman Niko. Tapi kali ini Karla diam saja, biarpun telinganya dipasang baik-baik mendengarkan suara Paman Niko. Karla sangat menyukai adik Mama yang satu ini. Orangnya gembul, rambutnya gondrong dikuncir satu ke belakang. Tapi penampilannya tidak dekil. Paman Niko hobi fotografi. Jadi kemana-mana selalu membawa kamera tele yang digantungkan di lehernya. Paman Niko suka bercanda, Karla betah berlama-lama di dekatnya. Selain itu Paman Niko juga seorang arsitek. Karyanya sudah beberapa yang dibangun. Karla sangat kagum padanya. "Tuh, keponakanmu sedang ngambek, di ruang tamu. Minta dibelikan rumah boneka Barbie. Aku pikir, kan, sayang uangnya. Sebentar lagi Karla pasti bosan. Dia kan sudah mulai besar. Masa' mau main boneka terus," suara Mama terdengar samar-samar. Lalu suara langkah kaki Paman Niko. Mama menutup kembali pintu depan. "Ho ho ho! Siapa itu, ngumpet di pojok sofa?" seru Paman Niko begitu melihat Karla yang melungkar di ujung sofa. Karla tersenyum senang. Ingin langsung menghambur ke gendongan Paman Niko seperti biasanya. Tapi ia merasa malu pada Mama. Masak baru saja ngambek, tahu-tahu sudah tertawa-tawa. Aduh, gengsi dong, pikir Karla. "Kenapa anak manis? Paman dengar, hari ini jadwal ngambek ya? Mau rumah boneka ya?" tanya Paman Niko dengan mimik lucu, sambil duduk di sebelah Karla. Karla mulai luluh, cair seperti es batu yang kena sinar matahari. Sementara Mama diam-diam pergi ke ruang makan dengan senyum lega menghiasi bibirnya. "Iya, Paman! Shiva dan Vidia sudah punya, cuma Karla yang belum. Paman Niko bikinkan, dong. Paman kan arsitek. Kalau bisa bikin rumah besar, pasti bisa bikin rumah kecil!" rajuk Karla manja. Paman Niko tertawa, perutnya yang besar terguncang-guncang. "Wah, justru bikin rumah-rumahan boneka itu lebih sulit. Harus ahli, soalnya detilnya kan kecil-kecil. Tapi Paman Niko punya 'rumah-rumahan' lain yang juga cantik, warna-warni, seperti rumah boneka. Malah lebih bagus. Kamu mau lihat tidak?" tawar Paman Niko. Karla mendongak, penasaran. Masa' sih ada rumah-rumahan yang lebih bagus dari rumah boneka? "Ah, yang benar Paman! Dimana?" tanya Karla penasaran. "Ada deh! Kalau Karla mau ikut, hari ini Paman kebetulan mau ke sana," jawab Paman Niko. "Mau, mau. Tapii....." Karla diam sejenak, menggigit bibir. Lalu meneruskan dengan suara pelan. "Apa diijinkan Mama?" "Lo, Karla belum tahu ya? Kan Mama yang telpon Paman, dan menyuruh mengajak kamu. Sekarang, pamit saja pada Mama, terus ganti baju," jawab Paman Niko dengan senyum mengembang. Karla tak ragu lagi, langsung terbang ke ruang makan, mencari Mama. "O iya. Jangan lupa bawa pensil warna atau krayon, ya, sekalian..." ujar Paman Niko lagi. Karla berbalik sebentar. "Lo, buat apa?" mimiknya terlihat bingung. "Ada deh! Sudah, cepat! Nanti juga kamu tahu..." Paman Niko menyipitkan sebelah matanya. Karla tersenyum, meski benaknya masih dipenuhi tanda tanya. Beberapa saat kemudian… Karla turun dari mobil Paman Niko dengan bingung. Karla mengamati keadaan sekelilingnya dengan seksama. Sementara Paman Niko mengisi rol film ke dalam kameranya. Di depannya adalah sebuah perkampungan kumuh, dengan dinding-dinding dari papan-papan bekas. Mobil mereka tadi sempat melewati tumpukan sampah setinggi bukit. Di situ ada beberapa orang laki-laki bertelanjang dada tampak memilah-milah sampah. Di situ terdapat juga pangkalan becak. Beberapa pengemudi becak sedang duduk-duduk di atas becak menunggu penumpang. "Ayo, Karla," ajak Paman Niko. Karla membuntut di belakang Paman Niko. Dengan ramah Paman Niko menyapa pengayuh-pengayuh becak itu. Mereka kelihatannya sudah akrab. Ternyata kampung itu berupa sebuah jalan setapak kecil. Di sisi-sisi jalan itu padat dengan rumah-rumah berdinding papan. Dindingnya di cat berwarna-warni oleh penghuninya. Yang mengherankan Karla, selain penduduk kampung yang sibuk hilir mudik melakukan kegiatannya, ada segerombolan remaja berpakaian kaos dan jeans. Dilihat dari penampilannya, mereka bukan penghuni kampung itu. "Mereka siapa, Paman?" tanya Karla heran. "Itu kakak-kakak mahasiswa jurusan arsitektur yang membantu penduduk mengecat kampung ini, Karla. Mereka juga yang mendekati para penduduk supaya mau mengecat rumahnya. Semua itu dalam rangka Jakart," jawab Paman Niko. "Apa sih Jakart itu, Paman?" tanya Karla polos. "Jakart itu festival seni besar yang diselenggarakan selama bulan Juni. Seniman-seniman di berbagai bidang ingin mengenalkan seni pada tiap lapisan masyarakat. Juga pada orang-orang yang tinggal di daerah kumuh seperti ini, Karla. Ini untuk memperingati ulang tahun Jakarta," urai Paman Niko panjang lebar. Karla mengangguk-angguk. Ia sangat bangga karena pamannya mempunyai perasaan sosial yang besar. Karla jadi malu sendiri ketika melihat anak-anak sebayanya harus tinggal di rumah sederhana. Padahal ia baru saja merengek minta dibelikan rumah boneka yang mahal pada mamanya. Seharusnya ia bersyukur tinggal di rumah yang bagus. Setiap hari ke sekolah diantar sopir, dan makan makanan enak. "Karla, belum pernah naik getek, kan?" tanya Paman Niko. Karla menggeleng. "Di belakang rumah-rumah ini ada kali kecil. Nanti kita ke seberang kali ya, naik getek," ujar Paman Niko. Karla mengangguk girang. Lalu ia dengan Paman Niko berjalan melintasi jalan setapak itu. Orang-orang yang bertemu mereka menyapa ramah. Sekitar lima puluh meter kemudian, di antara kepadatan rumah-rumah tersebut terlihat sebuah tempat lapang. Ujungnya seperti dermaga dari bilah-bilah papan. Ternyata benar kata Paman Niko. Di belakang rumah-rumah itu ada kali yang lebarnya kira-kira tiga belas meter. Airnya keruh berwarna coklat. Sebuah perahu kayu eretan bersandar di dermaga kecil. Pengemudinya tampak mengantuk. Yang unik, perahu itu tidak dikayuh. Ada tali di antara ujung perahu dan kabel yang terbentang di antara kedua sisi sungai. Jadi si pengemudi perahu tinggal mengeret perahunya menyeberangi sungai. Karla senang sekali, karena ini pengalamanan pertamanya menaiki perahu eretan. "Ujung sungai ini bermuara di Tanjung Priuk. Lihat tuh, dari sini kita bisa melihat jembatan layang Pluit. Nah, kampung ini sengaja dicat warna warni. Terutama yang menghadap jembatan layang itu. Supaya tamu-tamu yang baru datang dari bandara dan melintasi jembatan layang ini melihat pemandangan yang menarik," Paman Niko sibuk menjelaskan. "Apa nama kampung ini, Paman?" "Nama aslinya Kampung Tanggul Indah. Tapi nama proyeknya Kampung Berwarna," jawab Paman Niko. Dari seberang memang tampak rumah-rumah panggung di pinggir sungai itu mulai berwarna-warni. Ada beberapa kakak mahasiswa yang menggambari dindingnya dengan gambar bunga matahari, ikan mas koki yang manyun, Dinosaurus... Semuanya bagus. Jam lima sore, Paman Niko mengajak Karla pulang. Sebenarnya Karla masih betah di sana. Malah ia ingin membantu kakak-kakak mahasiswa mengecat kampung itu. "Kita sekarang pulang dulu. Besok Paman janji akan membawa kamu ke sini lagi. Besok kan ada lomba menggambar buat anak-anak kampung sini, kamu boleh ikut," ujar Paman Niko. Karla senang sekali. Besok mungkin ia akan mendapat teman-teman baru, menggambar bersama teman-teman baru. Itu tentu lebih menyenangkan dibanding main boneka sendirian di rumah. Beberapa kakak mahasiswa melambaikan tangan sambil bersenda gurau, ketika Paman Niko dan Karla pamit pulang. Karla sudah tidak sabar ingin menceritakan pengalamannya itu pada Papa dan Mama. Oh, tentu juga pada Vidya dan Shiva. Kini Karla tidak iri lagi pada mereka. Karla tidak akan pernah melupakan pengalamannya hari itu.
Berkunjung ke kampung berwarna.
Kasut Bidadari
Oleh: Emmi Mira (Bobo No. 35/XXIX)
Kasut Bidadari adalah nama sejenis anggrek yang tumbuh di hutan. Kasut berarti sepatu. Anggrek Kasut Bidadari yang tumbuh di tanah ini sangat indah. Bunganya seperti disulam dengan benang emas. Tepiannya berwarna perak. Karena indahnya, ada dongeng tentang anggrek Kasur Bidadari ini. Beginilah ceritanya… Dahulu kala, di kerajaan kahyangan, ada tujuh puteri yang sangat jelita. Nama-nama mereka diambil dari nama bunga. Mawar, Dahlia, Cempaka, Tanjung, Kenanga, Cendana dan si bungsu Melati. Mereka masing-masing mempunyai kesukaan yang berbeda. Yang paling menonjol dari antara mereka adalah si bungsu Melati. Melati sangat suka bemain-main di hutan Rimba Hijau. Hutan itu sering dikunjungi manusia. Ayah mereka berulang kali melarang Melati bermain di hutan itu. Sang ayah takut jika puterinya itu bertemu dengan manusia. Di rimba itu terdapat sungai dengan air terjun yang indah. Di saat cuaca cerah, gemercik airnya membias memantulkan sinar matahari. Sehingga terbentuklah warna-warna indah seperti pelangi. Suatu hari Melati mengajak semua kakaknya ke Rimba Hijau. Mereka turun ke bumi dengan meneliti pelangi. Mereka mengenakan pakaian dan sepatu yang indah. Setibanya di bumi, mereka asyik bermain di air terjun. Sedang asyiknya mereka bermain, lewatlah seorang pemburu. Ia sangat terkejut melihat ketujuh bidadari itu. "Hei, siapa kalian? Aku belum pernah melihat kalian!" seru pemburu itu. Ketujuh puteri itu sangat terkejut. Mereka langsung terbang melayang ke angkasa. Saking terburu-buru, sebelah sepatu Melati jatuh ke bumi. Melati bermaksud mengambilnya. Namun kakak-kakaknya melarangnya. Ketujuh bidadari itu lalu kembali meniti pelangi. Perlahan-lahan pelangi itu pun mulai menghilang. Pemburu tadi terpana menyaksikan kepergian ketujuh bidadari itu. Ia lalu memungut sebelah sepatu Melati yang tadi terjatuh. Namun, sepatu itu tiba-tiba terjatuh lagi dari tangannya. Pada saat itulah terjadi kejadian aneh. Sepatu tadi perlahan-lahan berubah menjadi bunga yang indah. Setiap helai kelopaknya seperti tersulam dari benang emas dan perak. "Aneh… kasut tadi mengapa bisa menjadi bunga? Tentu ketujuh gadis tadi adalah bidadari…" gumam pemburu itu. "Karena berasal dari kasut, kunamakan saja bunga ini Kasut Bidadari," gumamnya lagi. Demikianlah… Akhirnya sampai kini bunga itu dinamakan Kasut Bidadari.
Buaya dan Burung Penyanyi
Oleh: Endang Firdaus (Bobo No. 17/XXX)
Buaya dan Burung Penyanyi bersahabat akrab. Hari ini mereka asyik bercakap. Burung Penyanyi bertengger di hidung Buaya. Namun beberapa saat kemudian, Buaya merasa mengantuk. Ia menguap dan membuka mulutnya lebar-lebar. Oh, Burung Penyanyi yang bertengger di hidung Buaya terpeleset masuk ke dalam mulut Buaya. Sayangnya, Buaya tidak tahu. Ia bingung mencari Burung Penyanyi yang kini tak ada lagi di hidungnya. “Aneh! Ke mana Burung Penyanyi?” gumam Buaya. “Ia pasti sedang mengajakku bercanda,” Buaya melihat ke belakang, ke ekornya. Namun burung itu tidak ada. Buaya lalu mencari Burung Penyanyi di semak-semak. Ia memasukkan moncongnya ke semak-semak di tepi sungai. Namun Burung Penyanyi tetap tidak ditemukannya. “Ke mana ia?” gumam Buaya kembali. Buaya akhirnya memejamkan mata untuk tidur. Tapi tiba-tiba terdengar senandung merdu yang keluar dari dalam dirinya. “Oh!” serunya heran. Matanya terbuka lebar. “Selama hidup, baru kali ini aku dapat bernyanyi. Wow, aku akan mengajak Burung Penyanyi sahabatku untuk bernyanyi bersama. Pasti akan sangat menyenangkan!” Buaya kemudian asyik mendengarkan senandung yang keluar dari dalam dirinya. Setelah beberapa lama ia merasa lelah. Ia lalu membuka mulutnya, dan menguap lebar-lebar. Ketika akan menutup matanya, matanya melihat satu makhluk bertengger di hidungnya. Makhluk itu kelihatan sangat marah. Dia si Burung Penyanyi. “Kau jahat!” omel burung itu. “Mengapa kau tidak memberi tahu kalau ingin membuka mulut? Aku terjatuh ke dalam mulutmu, tahu? Menyebalkan!” Buaya mengernyitkan dahi. “Jadi,” katanya, “Senandung yang terdengar dari dalam diriku itu suara senandungmu? Bukan senandungku?” “Ya!” jawab Burung Penyanyi. Ekornya digoyang-goyangkan. “Kau kan tahu, kau tidak bisa bernyanyi sama sekali! Suaramu sangat sumbang! Tak enak didengar!” Buaya sangat sedih mendengar perkataan itu. Airmatanya menetes. “Aku pikir senandung itu suaraku,” katanya pilu. “Kau tahu, aku ingin sekali bisa bernyanyi. Dan tadi kupikir aku sudah bisa menyanyi. Ternyata? Oh, betapa malangnya aku yang bersuara buruk!” Burung Penyanyi merasa iba. Ia segera mencari cara untuk menghibur sahabatnya itu. “Teman, bagaimana kalau kau membuat gelembung-gelembung air dan aku bersenandung? Kita lakukan bersamaan. Suara yang terdengar pasti sangat enak didengar.” Buaya setuju. Ia lalu memasukkan moncongnya ke dalam air dan membuat gelembung-gelembung. Burung Penyanyi bernyanyi. Suara nyanyiannya sangat pas dengan suara gelembung-gelembung air yang dibuat Buaya. Buaya senang sekali. Dan sejak itu mereka berdua selalu melakukan hal itu setiap hari. Dan, agar Burung Penyanyi masuk lagi ke dalam mulutnya, Buaya selalu memberitahu dulu sebelum membuka mulutnya. Wow, rukun ya mereka!

Terlempar dari Negeri Dongeng
Oleh: Widyawati (Bobo No. 41/XXIX)
Dindon bersama Mama dan Tante Eda pergi ke pasar murah. Tante Eda minta ditemani membeli kereta bayi. Tepat di sebelah toko itu, ada toko boneka bekas. Bermacam boneka dipajang di situ. Sementara Mama dan Tante Eda asyik melihat-lihat kereta bayi, Dindon asyik pula melihat boneka-boneka itu. Tiba-tiba Dindon terpaku melihat sebuah boneka yang bersih dan cantik. Dindon penasaran dengan boneka itu. Itu sebabnya, esok harinya, sepulang sekolah, Dindon mengajak Roni ke toko itu. Roni pun terpaku saat melihat boneka itu. Dindon dan Roni merasa boneka cantik itu menatapi mereka. Dindon membisiki Roni sambil menarik tangan temannya itu, "Coba kita bergerak ke dekat toko kereta bayi." Meraka berjalan pelan sambil melirik boneka itu. Lalu mereka berhenti. "Kok bisa?" kata Roni tak habis mengerti. Bola mata boneka itu betul-betul mengikuti kemana pun mereka bergerak. "Apa penjaga toko yang menggerakkannya?" bisik Dindon. Roni menggeleng. Dindon akhirnya memutuskan untuk membelinya. "Kau akan memajangnya di kamar?" tanya Roni dalam perjalanan pulang. "Tentu saja tidak. Mama akan heran kalau anak lelakinya main boneka," jawab Dindon "Nanti sore, kamu ke rumahku, ya! Kita selidiki keanehannya." Sore harinya Roni datang. Mereka berdua segera mengunci pintu kamar. Dindon mengeluarkan boneka itu dari tasnya. Lalu diletakkan di tempat tidur. Perlahan, mata boneka itu menatapi mereka. Wajahnya berubah jadi berseri-seri. Kepala Dindon dan Roni serentak tegak. "Apa ia bisa bicara juga?" bisik Roni pelan. Tiba-tiba terdengar suara tawa lembut. "Ya, aku bisa bicara. Nama kalian Dindon dan Roni, kan?" kata boneka itu. Kedua anak lelaki itu terngaga. "Dia bicara!" bisik mereka tersentak. "Kamu… kamu…, siapa kamu sebenarnya?" tanya Roni gugup. "Aku mengerti kalau kalian merasa aneh. Aku sebenarnya seorang puteri dari Negeri Dongeng. Namaku Puteri Renda," ujar boneka itu. "Oh, kamu seorang Puteri?" gumam Dindon keheranan. "Apa yang terjadi padamu, sampai kamu bisa jadi boneka," sambung Roni. "Aku dihukum oleh pemuda sakti. Aku diubahnya jadi boneka. Jika ada anak yang ingin memiliki aku, barulah aku terbebas dari hukuman. Dan bisa kembali ke negeriku. Tapi, orang jahat itu menyihir, sehingga aku tampak kumal dan jelek di mata anak perempuan. Padahal, biasanya kan anak perumpuan yang suka main boneka. Di mata anak lelaki aku tetap boneka yang cantik dan bersih. Tetapi, anak lelaki kan tidak suka boneka. Dengan cara demikian, dia ingin aku tidak bisa kembali ke negeriku," cerita Puteri Renda. "Sekarang kami telah memilikimu," kata Dindon. "Ya, kalianlah yang bisa menolongku," kata Puteri Renda. "Bagaimana caranya?" tanya Roni. "Sebenarnya sekarang aku bisa kembali ke negeriku. Namun aku tak bisa membebaskan kedua orangtuaku dan Pangeran Tara. Mereka ditahan oleh pemuda sakti itu. Pemuda itu ingin menjadikan aku istrinya. Tapi aku telah bertunangan dengan Pangeran Tara, dan tak mau menjadi istrinya. Itu sebabnya aku disihir menjadi boneka. Dan dilempar ke negeri kalian ini. Jika berada di negeriku, tubuh kalian akan memancarkan sinar. Sebab kalian berasal dari negeri yang bermatahari. Nah, sinar itu akan menghilangkan kejahatan di tubuh pemuda itu," kata Puteri Renda. "Jadi, kami bisa membersihkan negerimu dari kejahatan?" tanya Dindon. "Benar," jawab Puteri Renda. "Baiklah. Aku ingin melihat Negeri Dongeng itu," kata Roni. "Apakah kami akan bertarung melawannya?" tanya Dindon. "Tidak. Tanpa bertarung, kalian bisa menyelamatkan kerajaan kami. Saat ini, pemuda sakti itu telah menguasai istana," jawab Puteri Renda. "Kalau begitu, mari kita berangkat," kata Dindon dan Roni. "Pejamkanlah mata kalian," ujar Puteri Renda. Dindon dan Roni memejamkan mata mereka. Beberapa detik kemudian Puteri Renda berkata, "Bukalah mata kalian." Kedua anak lelaki itu membuka mata. Kini di hadapan mereka berdiri seorang puteri. Saat menoleh, mereka melihat seorang pemuda dengan mahkota di kepalanya di singasana. Juga ada sebuah kerangkeng besar mengurung tiga orang. Dari dalamnya seorang wanita berseru, "Renda, putriku. Oh, anakku telah kembali!' ujarnya. "Negeri Dongeng! Sekarang kita berada di Negeri Dongeng!" kata Roni. "Ya. Selamat datang di negeriku, Dindon dan Roni. Lihatlah! Pemuda jahat itu telah mengangkat dirinya menjadi raja!" Putri Renda menunjuk ke singgasana. "Hahaha, kau tetap tak kan bisa melawan, Putri Renda! Kau akan kujadikan benda yang lebih jelek. Dan kalian akan kulempar ke tempat yang lebih jauh," tantang pemuda itu, lalu mengacungkan jarinya. Namun, sesuatu yang aneh terjadi. "Lihat, tubuh kita mengeluarkan cahaya!" seru Roni. Cahaya di tubuh Roni dan Dindon merambat ke arah pemuda jahat itu. Tubuhnya terkulai dan jatuh berlutut. Bersamaan dengan itu kerangkeng yang menutup baginda, permaisuri dan Pangeran Tata pun lenyap Pemuda itu mencoba melarikan diri, tetapi dengan cepat diringkus oleh prajurit. Puteri Renda sangat gembira dan sangat berterima kasih pada Dindon dan Roni. Kedua anak laki-laki itu lalu berpamitan. Mereka khawatir orang tua mereka mencari mereka. Dindon dan Roni memejamkan mata. Beberapa detik kemudian, mereka telah kembali ke rumah mereka. Pengalaman itu sangat mengesankan. Namun Dindon merasa kehilangan boneka yang dibelinya dengan harga murah itu.
Hantu Pohon Nangka
Oleh: Avicenna (Bobo No. 10/XXIX)
Semua orang di rumahku sudah tahu, aku mudah sekali takut pada hal-hal sepele. Misalnya pada kecoa, atau pada kucing kecil tetanggaku. Bahkan bila ada tamu tak dikenal melangkah masuk ke rumahku, aku terbirit-birit berlari mencari Mama sambil berteriak, "Mama…ada orang asing datang!" jantungku kemudian akan berdebar kencang, keringat dingin keluar. Anehnya… kejadian demi kejadian terus berlanjut tanpa aku bisa mengerti mengapa aku menjadi penakut. Adik bungsuku pun gemar mengejekku dengan nyanyian, "Mas Aver penakut… Mas Aver penakut…" Bagaimana dengan cerita-cerita horor, film hantu, vampir…? Jangan ditanya! Aku tak berani samasekali menontonnya. Padahal kata Pak Ustadz Agus guru mengajiku, "Bila kamu yakin akan keberadaan Tuhan Yang Maha Perkasa, semua rasa takut tentu tak akan mengusik hati kita. Hati kita tidak akan pernah gentar." "Bahkan ada manusia-manusia terpilih yang dapat mengalahkan ketakutan mereka seperti yang terjadi pada Nabi Sulaiman", lanjut Pak Agus. Sejak itu aku sering menghadiri pengajian Pak Ustadz Agus di TPA dekat rumahku. Aku tidak peduli pada ocehan adikku tentang hantu yang bercokol di pohon nangka di depan teras rumahku. Ya…adikku, Aji, sering sekali berceloteh bahwa di atas pohon nangka kami ada penunggunya. Wajahnya seram, berkepala botak, bertubuh tinggi besar kira-kira dua meter. Katanya si penunggu itu terlihat ngambek bila anak-anak kecil naik ke pohon itu dan mematahkan ranitng-ranting pohon atau menggores-gores buah nangka yang belum ranum. "Kau pikir aku akan takut dengan cerita-cerita khayalmu itu, Aji!" bentakku pada Aji. Tapi aku bingung juga memikirkan mengapa anak kecil seperti Aji sudah bisa berkhayal tentang hantu yang tinggi besar dan menakutkan. Apakah Aji benar-benar telah melihat hantu pohon nangka itu? Atau dia hanya ingin menakut-nakutiku saja? "Betul lo Mas Aver. Sudah berkali-kali aku melihat hantu pohon nangka itu nongkrong di atas dahan yang berada di atas kamar Mas Aver…," cerita adikku suatu hari. "Lha, mengapa si hantu tidak mengajakmu bermain?" ledekku. "Hantu itu memang sering turun dari pohon nangka. Ia lalu mengelilingi rumah, dan dia sepertinya tidak suka jika rumah berantakan. Makanya kamar Mas Aver harus bersih. Gawat lo, kalau kena marah hantu!" ancamnya. Wah, aku tertawa geli mendengar cerita Aji. Sore yang agak mendung, membuatku merasa gerah. Musim hujan sudah tiba rupanya. Air hujan sering membasahi halaman rumahku, sehingga udara di bawah pohon nangka agak lembab. Harum buah nangka dan bau bakal buah nangka sering memasuki kamarku. Aroma yang khas disukai adikku, tapi aku tidak begitu menyukainya. Jam menunjukkan pukul 17.00. Hujan mulai turun rintik-rintik, menambah dingin suhu kamarku. Sesaat kemudian telepon di ruang tengah berdering, bergegas aku mengangkatnya. "Hallo, sayang, ini Mama… Mama dan Papa tidak bisa pulang sore ini. Nenekmu sekarang sedang dirawat di ruang gawat darurat…" Wah, gawat nih, pikirku. Kedua orangtuaku belum pasti pulang malam ini. Hatiku menjadi gundah, karena malam ini adalah malam Jum'at Kliwon. Orang Jawa bilang malam yang penuh dengan hal-hal mistik. Waktunya hantu banyak bergentayangan. Akh, imanku mulai goyah lagi. Malam semakin larut, jam menunjukkan pukul 23.00. Mama Papa belum juga datang. Aku dan Aji masih bangun. Karena bosan menunggu, akhirnya Aji menyalakan televisi. Aku masih membaca buku di kamar. Belum beberapa lama, tiba-tiba...pet! Lampu mati begitu saja, semua gelap gulita. Aji berteriak memanggilku, akupun tidak kalah kerasnya berteriak memanggil Aji. Kami saling bersahut-sahutan. Kami berdua amat takut pada kegelapan. Untung saja, aku segera sadar! Masa aku harus takut pada kegelapan? Tiba-tiba aku teringat pada hantu pohon nangka. Apakah ia akan muncul di kegelapan rumah kami. Tak terasa keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku. "Cepat Mas, kita cari lilin…," sela Aji setelah kami saling beremu. Brak brak… "Aduh!" tiba-tiba setumpuk buku menimpa Aji. Adikku merintih kesakitan. "Aduh Mas… tolong! Kepalaku sakit… berdarah Mas! Berdarah, tolong!" "Sabar Aji, ya…ya… akan kutolong." Aku meraba-raba dinding rumah mencari korek api. Dan tentu saja aku harus mencari betadin karena luka Aji harus diobati. Tak berapa lama… Byaar! Lampu menyala terang sekali. Aku amat girang! Bergegas kuhampiri Aji. Buku-buku menumpuk berantakan di samping Aji, sementara adikku duduk bersimpuh kesakitan di lantai. Kuamati ia dengan teliti. "Mana lukamu? Mana darahnya?" Aku mencari-cari darah di tubuh Aji. Akh ternayata tak ada darah setetespun yang keluar. Tak ada segores lukapun pada tubuhnya. Aji meraba-raba dahinya yang basah akibat kena tetesan air hujan. "Wah, bocor…," celetuk adikku. Kami tertawa terbaha-bahak… Namun tiba-tiba… pet ! Lampu mati kembali, … dengan terburu-buru kupeluk Aji. "Ayo Ji, kita masuk kamar saja. Kita tidur saja…" Terseok-seok kami berdua menuju kamar tidur, kudengar hujan di luar agak keras. Tiupan angin malam yang menggerakkan daun nangka terdengar jelas olehku. Bukankah sudah kukatakan dahan-dahan nangka itu tepat berada di atas kamarku. Seer…seer, bunyi dahan pohon nangka. Kami ingat tentang hantu pohon nangka. Tiba-tiba terdengar benda terjerembab jatuh di dekat ranjang kami. Hii…iihh! Kupejamkan mataku. Kututup telingaku dengan bantal, kuraih tubuh adikku, kurapatkan dekapan kami. Detak jantung kami berdegup cepat sekali. Akhirnya kami tertidur… Keesokkan harinya kami terbangun, jam dinding berdentang enam kali. Kuhentakkan Aji. "Aji.. ayo bangun, kita harus sekolah! ayo cepat, nanti kesiangan…" "Eh, Mas, apakah tadi malam kita memakai selimut ini?" tanya Aji keheranan, sambil membukakan selimut tebal yang menyelimuti tubuh kami berdua. "Kurasa tidak…'kan ini selimut Mama. Mengapa ada di sini?" Segera aku berlari keluar kamar. Ha!? Orangtuaku pun belum pulang. Kunci kamar tamu masih tergeletak pada laci tempatnya. Aku bingung. Aji pun bingung… "Kalu begitu, siapa yang menyelimuti kita ya…?" Aji bertanya. Aku memandang Aji, kami saling pandang. Lalu secara bersamaan kami berteriak sambil berlari menuju keluar rumah. "Hantuuuu….!!!" "Eit, eiit…apa-apaan ini, kalian berdua…?" sekonyong-konyong mamaku datang dari arah dapur. Saat itu juga aku lega. Lega sekali….. *****

Cerita Nenek
Oleh: L. Heni S. (Bobo No. 18/XXIX)
Lagi-lagi gaduh! "Buruan, aku telat nih!" teriak Edo dari depan kamar mandi. "Salah sendiri bangun kesiangan!" Eda menghentikan senandungnya untuk menyahut, lalu kembali bersenandung. "Hentikan dong, telingaku capek dengar suaramu! "Masa bodoh, tutup saja kupingmu!" Hiruk-pikuk macam itu terdengar tiap pagi, kecuali hari Minggu dan hari libur. Penyebabnya adalah kebiasaan Eda yang selalu bernyanyi atau bersenandung tiap kali ke kamar mandi. Kebiasaan itu membuat dia terlalu lama berada di kamar mandi. Tentu tidak apa-apa jika di rumah tersebut ada lebih dari satu kamar mandi. Celakanya, hanya ada satu kamar mandi untuk ayah, ibu, dan dua anak kembar itu! Ibu pusing menghadapi Eda. Anak manis tersebut selalu punya alasan mengapa mesti bersuara di kamar mandi. "Biar nggak dingin! Ibu tahu sendiri kan, brrr… dinginnya air waktu pagi!" "Ibu percaya tidak? Kalau Eda nyanyi keras-keras, tak ada kecoak yang berani menampakkan diri!" Dan seterusnya, dan sebagainya. Ibu tidak kalah bingung berhadapan dengan Edo. Anak laki-laki periang itu tak berhenti merengek dibuatkan kamar mandi lagi. "Do, Ayah Ibu kan baru saja menggunakan banyak uang untuk membeli rumah ini. Kecil-kecil begini ini rumah kita sendiri. Daripada dulu, kita tinggal di rumah kontrakan satu ke rumah kontrakan lain. Sabar ya, jika sudah ada uang, pasti dibuatkan." "Ah, Ibu….!" Anak tersebut tak pernah kehabisan kata-kata untuk meminta. Hari Sabtu ayah pulang kantor lebih awal. Yang menggembirakan, kata ayah Nenek akan datang. Cihui, bakalan ada banyak oleh-oleh dan cerita asyik! Sore hari Nenek datang. Seru, akhir pekan itu benar-benar menyenangkan! Hari Minggu-nya pun tak kalah mengasyikkannya. Namun, apa yang terjadi keesokan harinya? Akankah dua bersaudara tersebut membuat keributan juga? Tidak malukah mereka pada Nenek? Nenek ke luar rumah untuk jalan-jalan pagi itu. Oleh karena itu, ketika Eda melakukan kebiasaannya setiap kali ke kamar mandi, dengan keras Edo memperingatkan. Dan apa yang terjadi pada hari-hari sekolah sebelumnya pun berlangsung kembali. Persis seperti film yang sedang diputar ulang. Bagaimana pun ibu sedikit lega karena Nenek tak perlu mendengar betapa gaduhnya kedua cucu kesayangan Nenek itu. Saat makan pagi, Nenek sudah kembali dan bergabung makan bersama mereka. Ketika sedang asyik menyuap makanan, tiba-tiba Nenek bercerita. "Kalian tahu? Tadi, saat Nenek melintas di jalan belakang situ, Nenek mendengar ada anak yang bertengkar. Aduh, seru sekali! Kok ada ya anak yang suaranya keras sekali seperti itu?!!" Tanpa diberi aba-aba, Eda dan Edo menghentikan suapan mereka. Nenek tetap asyik dengan makanan dan ceritanya. "Sepertinya sih, yang ribut itu anak laki-laki dan perempuan. Kira-kira…, sebesar kalian," Nenek memandang kedua cucunya. Dua anak kembar tersebut menunduk, tapi tak berani menatap Nenek. "Nenek membayangkan, betapa sedihnya bila Nenek yang menyayangi mereka tahu. Nenek sungguh bersyukur, untung bukan cucu Nenek yang bertingkah seperti itu!" Eda dan Edo saling curi pandang. Mereka tak berani bersuara sampai makanan di piring mereka habis. Mereka tidak tahu, apakah Nenek sungguh-sungguh tidak tahu atau pura-pura tidak tahu. Yang jelas, sejak Selasa pagi tak terdengar lagi nyanyian atau senandung Eda di kamar mandi. Bahkan ketika Nenek sudah pulang sekalipun. *****
Mama Berhati Emas
Oleh: Ny. Widya Suwarna (Bobo No. 6/XXIX)
Kadang Sinta suka berangan-angan. Alangkah menyenangkan bila punya mama seperti mamanya Ranti. Selalu rapi, bersepatu hak tinggi dan bekerja di kantor. Langsing, rambutnya sebahu, berombak rapi… Atau seperti Tante Elsa, mamanya Inge yang bekerja di salon. Ia selalu tampil modis. Pakaian dan make-upnya serasi. Jemarinya indah dengan cat kuku yang berganti-ganti warna sesuai bajunya. Pokoknya kedua mama teman Sinta bagaikan ibu-ibu dalam sinetron. Kalau Mama Sinta, boro-boro pakai cat kuku. Sehari-hari memakai celana panjang dan kemeja. Tubuhnya gemuk pendek, dan rambutnya dipotong seperti laki-laki. Pagi-pagi ia naik sepeda ke pasar untuk membuka kios buah. Mama berdagang apel, jeruk, atau anggur. Kalau musim duku, ya berjualan duku juga. Mama pakai lipstik dan rok hanya bila pergi ke pesta. Sebaliknya papa Sinta selalu berkemeja lengan panjang, berdasi, dan mengendarai mobil dinas. Dalam hati kadang Sinta heran. Kok Papa mau menikah dengan Mama? Bahkan sangat menyayangi Mama. Tiap pulang kerja Papa selalu menanyakan Mama. Hari ini Sinta pulang sekolah lebih cepat karena ada rapat guru. Tapi Sinta malas pulang, karena di rumah hanya ada Pak Usin, tukang yang sedang memperbaiki dapur. "Lebih baik aku ke pasar saja, ke kios Mama!" pikir Sinta. Sinta jarang datang ke kios Mama. Kalau Sinta pulang sekolah, biasanya kios sudah tutup dan Mama pun sudah ada di rumah. Turun dari bis, Sinta masuk ke lorong pasar. Pasar mulai sepi. Pedagang-pedagang mulai mengantuk. Mama sedang memasukkan apel ke dalam dus. Di depan kios Mama ada pedagang pisang. Seorang anak laki-laki duduk dekat kios pisang sambil menggendong kotak semir sepatu. Pakaiannya kumal, kulitnya hitam. "Ma, Sinta pulang cepat. Guru-guru rapat!" kata Sinta. "Kalau begitu kita bisa pulang sama-sama!" kata Mama. "Tunggu sebentar, Mama beres-beres dulu!" "Ma, anaknya, ya. Kenalin, dong!" Tiba-tiba si penyemir sepatu bangkit dan mendekati kios Mama. "Sinta, ini Ujang. Ayo, kalian salaman!" kata Mama. Dengan segan Sinta mengulurkan tangannya. Dalam hati Sinta kurang senang. Apa-apaan si Ujang ini? Panggil mama Sinta seenaknya. Mama? Mama siapa? "Pak Usin masih memperbaiki dapur. Mama tidak memasak hari ini. Kita makan ayam goreng saja, ya di depan sana!" kata Mama. Sinta mengangguk. Hatinya kembali senang, membayangkan ayam goreng, kentang goreng, puding. "Ma, anaknya cantik. Asyik benar nih makan ayam goreng!" komentar si Ujang. Mama tertawa. "Terimakasih. Ujang juga cakep. Ayo, ikut saja sekalian makan!" kata Mama. Sinta melihat mata Udin berbinar-binar dan wajahnya berseri-seri. "Benar nih, Ma. Boleh ajak si Dudung?" tanya Ujang penuh harap. "Ya, ya, lekas ajak ke sini. Kalau terlambat, ditinggal, lho!" kata Mama. Bagaikan anak panah lepas dari busurnya Ujang berlari, meninggalkan kotak semir sepatunya di lantai kios tukang pisang. "Ma, kok anak itu panggil Mama, bukan Ibu atau Tante?" bisik Sinta heran. "Biar saja. Ibunya ada di kampung. Tukang sayur, tukang ikan juga sering panggil Mama. Apalah artinya panggilan!" jawab Mama. "Ma, tidak malu bawa anak kumal ke restoran?" tanya Sinta lagi. Ia cemas kalau-kalau bertemu teman di restoran. Mama tersenyum dan menggeleng. "Sinta, anak-anak itu juga manusia seperti kita. Cuma, mereka kurang beruntung. Lihatlah, betapa senang wajah Ujang karena diajak makan di restoran. Biarlah sekali-sekali kita memberi sedikit kebahagiaan pada dia!" kata Mama. Tepat ketika Mama mengunci kios dan mengeluarkan sepedanya, Ujang dan Dudung datang. Sinta menutup hidung karena kedua anak laiki-laki itu bau terik matahari. Dudung memegang tamborin. Rupanya ia seorang pengamen. "Ma, dapat rejeki, ya mau traktir kita? Ma, aku minta paha ayam, ya!" kata Dudung tanpa malu-malu. Mama cuma tersenyum, lalu menitipkan sepeda pada Pak Kirman, pedagang pisang. "Ya, tinggal saja sepedanya di sini. Asal ada ongkos titipnya!" gurau Pak Kirman. Ujang dan Dudung juga menitipkan kotak semir sepatu dan tamborin. Lagi-lagi Sinta terperanjat. Ah, Mama tidak takut sepedanya hilang. Mama begitu percaya pada Ujang dan Dudung. Mereka berempat jalan ke luar pasar. Ketika Mama dan Sinta masuk ke restoran, ternyata Dudung dan Ujang belum masuk. Mereka bertemu dengan dua kawannya. Entah pengemis atau pengamen, Sinta tidak tahu. Mama memesan makanan dan ketika kedua anak laki-laki itu masuk, Mama memberi isyarat agar mereka duduk. Kemudian Mama dan Sinta mengantarkan nampan-nampan yang berisi ayam goreng, nasi dan minuman ringan pada Dudung dan Ujang. "Kalian cuci tangan dulu di sana," kata Mama. Orang-orang yang sedang makan memperhatikan Mama dan kedua anak laki-laki itu. Sinta merasa risih. Sinta dan Mama kembali mengambil nampan untuk mereka sendiri. Dudung dan Ujang belum mulai makan, keduanya berbisik-bisik. Mama mendekati mereka. "Ada apa?" tanya Mama. "Ma, boleh tidak, satu nampan ini dibawa keluar untuk Oni dan Engkos? Nanti dikembalikan lagi. Aku dan Dudung paruhan saja! Kasihan Oni dan Engkos!" pinta Ujang. Sinta terkesiap. Walaupun anak jalanan, ternyata Ujang punya rasa setia kawan yang besar. Ia dapat makanan enak, dan ia tidak tega menikmatinya sendiri sementara dua kawannya menonton dari balik kaca di luar. "Ajak saja mereka ke dalam. Mama akan pesankan lagi!" kata Mama. "Tapi-jadi menyusahkan Mama, dong. Mama kan mesti bayar lagi!" kata Dudung dengan wajah prihatin. "Oooh, uang Mama cukup kok! Hari ini memang Tuhan kasih rejeki pada kalian!" kata Mama. Wajah Mama berseri-seri dan untuk pertama kalinya Sinta bisa melihat bahwa sebetulnya Mama cantik. Dudung dan Ujang pergi ke depan. Mama memesan makanan lagi untuk Engkos dan Oni. Sinta bangkit untuk menolong Mama membawakan nampan. Hati Sinta terharu. Mama demikian baik. Ketika membayar di kasir, kasir berkata, "Ibu baik sekali. Jarang orang seperti Ibu. Mau memperhatikan anak-anak jalanan!" "Ah, hanya ini yang mampu saya lakukan!" kata Mama tersipu-sipu. Namun, dalam hati Sinta merasa bangga. Kemudian mereka mulai makan. Keempat tamu makan dengan lahap. Setelah selesai, mereka mengucapkan terimakasih. Mama dan Sinta pulang naik bajaj. Ujang akan kembali ke pasar dan mengantarkan sepeda Mama. Ketiga anak lainnya mengemis dan mengamen di bis kota. Sore hari, Sinta bercerita pada Papa tentang Mama. "Sejak dulu memang mamamu dikenal berhati emas. Itulah sebabnya Papa menikah dengan Mama!" kata Papa dan ia menepuk-nepuk bahu Mama. Sinta tersenyum. Rasanya hangat mengalir di hatinya. Sekali lagi ia melihat Mama yang sedang tersenyum. Tampak cantik, walaupun tidak memakai lipstik dan berdandan modis. Mama Sinta yang berhati emas. Dan angan-angan Sinta ingin punya mama seperti mama orang lain terbang entah ke mana. *****

Rahasia Bung Jabrik
Oleh: Dr. Lina Suwiyar (Bobo No. 9/XXIX)
Kampungku kedatangan penghuni baru. Seorang laki-laki tua berpenampilan aneh dan bertingkah laku aneh pula. Laki-laki itu menyebut dirinya Bung, bukan Pak, Mas atau Bang. Anak-anak sering mengganggu, mereka memberi julukan Bung Jabrik karena rambutnya panjang dan tidak teratur. Agaknya Bung Jabrik kurang waras, sering berbicara dan tertawa sendiri. Bung Jabrik tinggal di gubuk tua di tepi sungai. Pagi itu para guru mengadakan rapat, murid-murid diperbolehkan pulang lebih cepat. Masih dengan seragam putih merah, aku, Yuni, Esi dan A Seng berkumpul di warung lontong Yu Marni. Bonang belum datang. "Belakangan ini kampung kita banyak terjadi pencurian," A Seng membuka cerita. "Pak Ujang, Pak Beni saudagar sapi, Paman Munir telah menjadi korban. Para pencuri berhasil dengan gemilang. Mereka profesional." "Mereka?" aku tertarik. A Seng angkat bahu," aku hanya menduga. Sebab kerjanya sangat rapi dan hampir tak meninggalkan jejak." "Puh! Kayak detektif saja lagakmu," cemooh Esi. Kami tertawa. "Lihat, itu Bonang!" Bonang mengempit bungkusan. Sakunya penuh buah mata kucing, ia membagi masing-masing segenggam. "Apa itu?" "Nasi urap dan sepotong ikan asin?" "Untuk siapa, Nang?" tanyaku lagi. "Rahasia," Bonang nyengir. "A Seng mau mengalahkan Kapten Jono menangkap pencuri yang menjarah desa kita," lapor Yuni. "Boleh juga," kata Bonang serius," siapa tahu kita dapat membantu." Kami mengatur kursi agar bisa duduk satu meja. Yu Marni menyediakan pisang goreng dan teh. A Seng menyilakan, "Aku yang bayar. Om Liem memberi uang lebih tadi." "Mari kita kumpulkan data pencurian dari ketiga korban. Ada yang mencurigakan? Tari, coba dicatat!" "Kedai Pak Ujang. Beliau tinggal sendiri. Pencurian terjadi saat ia pergi kenduri. Jendela dan pintu tidak ada kerusakan. Pekerjaan yang sangat rapi. Rumah Pak Beni, pencuri masuk tengah malam. Malam itu Pak Beni baru menerima uang hasil penjualan sawahnya. Yang hilang uang, perhiasan, dan benda kecil berharga lainnya. Sedangkan TV, radio, VCD tidak diambil." "Terakhir Paman Munir," lanjut Bonang," terjadi dua minggu kemudian. Beliau baru meminjam uang dari KUD, malamnya uang dan arloji emas raib dengan cara yang sama." "Kukira pelakunya orang yang sama," cetus Yuni. "Mungkin juga tidak," bantah A Seng. "Bisa orang dalam, tetangga, atau orang lain yang meniru ulah pencuri pertama." "Pusiiiing…" keluh Esi. "Mari kita simpulkan, cari persamaan dari ketiga kasus itu," Bonang berpikir, "Terjadi malam hari, pencuri masuk dengan mudah, uang dan benda kecil berharga saja yang diambil…" "Si pencuri tahu persis bahwa tuan rumah baru mendapat uang banyak," potongku bersemangat, "Kemungkinan pelakunya satu orang, kalau tidak mengapa mereka tidak mengambil TV, radio, VCD dan lain-lain. Setelah itu aku merasa si pencuri orang desa ini juga, yang tahu kapan harus beraksi dan siapa korbannya." "Bagus, Tari," puji Bonang. "Kurasa hari ini sudah cukup bagi kita untuk berpikir. Ayo, ikut aku!" Kami berjalan beriringan, Bonang terdepan. "Nang, ngapain ke sungai?" Bonang terus berjalan menuju ke sebuah gubuk. Bung Jabrik sedang merokok dengan santai. Bajunya kumal dan rambutnya acak-acakan. "Nang, takut!" Esi menarik tangan Bonang. "Ssst, tidak apa-apa. Dulu Bung Jabrik seorang pejuang, tetapi dikhianati temannya sendiri hingga ia ditawan dan disiksa oleh musuh," jelas Bonang. "Bung, ini aku Bonang. Aku bawakan nasi urap kesukaan Bung!" Bung Jabrik mendongak, "Aku sibuk. Pergi! Jangan dekati rumahku!" "Jangan begitu, Bung. Kita sama-sama pejuang, bukan?" bujuk Bonang. "Hmm," Bung Jabrik melunak, "lihat geretan ini, pemberian Komandan atas jasa-jasaku." "Bagus," puji Bonang. Masih baru, sambungnya dalam hati. "Siapa nama Komandan Bung itu?" "Hus!" Bung Jabrik marah, "tidak boleh bocorkan rahasia. Ditembak kamu nanti. Dor! Dor! Kamu tidak setia ya sama Komandan. Pergi! Pergi!" Kami berlari ketakutan. A Seng sampai pipis di celana. Dua hari ini Bonang tidak banyak bicara. Kami mengira ia sudah kapok bertemu dengan Bung Jabrik. Ternyata kami salah! "A Seng, belikan dua bungkus rokok!" perintah Bonang. A Seng patuh tanpa banyak tanya. "Dengar, kita berkesimpulan bahwa pelaku pencurian tinggal di desa ini, tapi ke mana harta hasil curiannya? Polisi telah menggeledah rumah-rumah yang dicurigai. Tiba-tiba aku ada ide, rumah siapa yang paling tidak mungkin dicurigai?" "Rumah Pak Lurah," tebak esi. "Jawabnya adalah gubuk Bung Jabrik. Ingat, Bung Jabrik tiba-tiba mendapat rokok dan geretan bagus. Dari mana? Ia melarang kita masuk ke gubuknya. Siapa Komandan yang dimaksud oleh Bung Jabrik?" Berlima kami menuju ke sungai. Tidak susah membujuk Bung Jabrik dengan dua bungkus rokok. "Dari Komandan, beliau pesan aku harus memeriksa." Bung Jabrik tampak senang, "Mari kutunjukkan harta perampasan perang Komandan." Ia membongkar tumpukan jerami di sudut gubuk dan mengambil sebuah kaleng bekas roti. Bonang merebut dan membukanya, "Uang, perhiasan, dan ini arloji emas Paman Munir." Bonang merangkul Bung Jabrik, "Bung, ternyata Komandan berkhianat. Ini harta negara, Bung. Akan aku bawa dan kembalikan pada negara. Kejar dan tangkap Komandan pengkhianat itu!" "Siap, Jenderal!" tegas Bung Jabrik sambil memberi hormat. Di rumah Pak Lurah telah ramai. Bung Jabrik mengikat erat sang Komandan, yang dikenali sebagai Pak Carik. Bagaimana metode si pencuri? Bonang tersenyum, "Pak Ujang masih ingat malam sebelum berangkat kenduri, Pak Carik datang membeli rokok, geretan, dan sabun. Buat apa beli sabun pada malam hari? Untuk mencetak kunci. Aku sudah mengecek, tukang kunci membenarkan pesanan tiga kunci, yang cocok dengan pintu rumah Pak Ujang, Pak Beni, dan Paman Munir." Pak Lurah dan hadirin bertepuk tangan. *****


Lukisan Kasih Sayang
Oleh: Ny.Widya Suwarna (Bobo No. 12/XXIX)
Pak Saiful, pelukis ternama mempunyai seorang palayan yang setia. Namanya Mumu. Biasanya setiap pagi Mumu membawakan perlengkapan melukis Pak Saiful, misalnya kanvas, cat minyak, dan kuas. Ia juga membawakan tikar kecil, air minum, dan makanan. Pak Saiful selalu melukis di tempat yang indah sekaligus mengerikan. Tempatnya di bawah sebatang pohon besar. Di sekitarnya terdapat rumput hijau dan bunga-bunga liar berwarna putih dan kuning. Kupu-kupu dan capung berkeliaran bebas di antara bunga-bunga itu. Kira-kira 15 meter ke arah selatan dari pohon itu terdapat sebuah rawa kecil yang permukaannya ditutupi oleh daun-daun teratai. Bunga-bunga teratai yang berwarna merah jambu menghiasi permukaan rawa itu. Namun, rawa itu selalu menelan benda apa saja yang terjatuh ke dalamnya, termasuk manusia. Lumpur rawa akan mengisap apa saja yang jatuh ke dalamnya. Suatu hari Pak Saiful baru saja menyelesaikan lukisannya yang sangat indah. Lukisan seorang anak kecil yang sedang menggendong dan membelai anjing kecil berbulu cokelat. Siapapun yang melihat lukisan itu pasti merasa tersentuh. Anak itu menyayangi anjingnya dan anjing kecil itu pun terlihat senang dalam pelukan si anak. "Mumu, coba kesini dan lihat lukisanku!" kata Pak Saiful bangga. "Luar biasa, Pak, sangat indah! Pasti laku dengan harga mahal," ujar Mumu. Kemudian Mumu kembali ke bawah pohon dan menyiapkan makanan dan minuman. Sementara itu Pak Saiful mundur beberapa langkah untuk memandang lukisannya lagi. Oh semakin jauh jaraknya, lukisan itu semakin indah terlihat. Pak Saiful mundur beberapa langkah lagi dan memandangi lukisannya kembali. Rupanya ia tak adar bahwa ia berada di tepi rawa. Sementara itu Mumu melihat majikannya yang sudah berada di tepi rawa. Alangkah berbahayanya. Bila Pak Saiful mundur selangkah lagi, pasti ia terjatuh ke dalam rawa. Mumu mendekati lukisan di bawah pohon dan mengangkat lukisan itu dari tempatnya. Pak Saiful berlari ke dekat pohon dan berkata dengan marah, "Apa-apaan kamu ini, Mu. Berani-beraninya kamu mau merusak lukisanku, atau mau mencurinya?!" "Maaf, Pak, maksud saya…!" jawab Mumu. Namun Pak Saiful tidak mau mendengar penjelasan Mumu. "Pergi kau dari sini. Aku tidak memerlukan pelayan yang kurang ajar!" seru Pak Saiful dengan wajah merah padam. Terpaksa Mumu pergi. Pak Saiful membereskan alat-alatnya dan membawa perlengkapannya pulang. Uuuh, rupanya berat juga. Esok paginya Pak Saiful membawa lagi lukisannya ke bawah pohon besar. Karena belum puas memandang, hari ini ia akan memandang sepuas-puasnya tanpa diganggu oleh Mumu. Mula-mula Pak Saiful memandang lukisannya dari dekat, kemudian ia memperpanjang jaraknya. Akhirnya ia sudah mendekati tepi rawa. Ia tak tahu di balik pohon besar ada sepasang mata mengawasinya. "Karya hebat. Aku sendiri pun hampir meneteskan air mata memandang lukisan itu. Orang akan tergugah untuk menyayangi binatang. Dan mereka akan berpikir bahwa kasih sayang itu sesuatu yang amat penting dan berharga!" pikir Pak Saiful. Tanpa sadar Pak Saiful mundur lagi dan …oooh …ia terperosok ke dalam rawa. "Toloong…tolooong!" jerit Pak Saiful dengan panik. Ia sadar bahwa dirinya akan terhisap ke dalam lumpur rawa dan maut akan segera menjemputnya. Saat itulah Mumu muncul sambil membawa tambang. Ia sudah mengikatkan tambang di sebuah pohon besar dekat rawa. "Pegang tambang ini, Pak!" kata Mumu sambil mengulurkan tambang. Lalu Mumu cepat-cepat menarik tambang sekuat tenaga, menarik Pak Saiful dari rawa. Keringat bercucuran di wajah Mumu, namun akhirnya ia berhasil menyeret majikannya keluar dari rawa. Begitu tiba di rerumputan, Pak Saiful pingsan. Ketika sadar, ia sudah berada di rumahnya dalam keadaan bersih, Mumu sudah mengurus segala sesuatunya dengan baik. "Terimakasih, Mumu, kamu menyelematkan nyawaku!" kata Pak Saiful. "Maafkan aku!" "Tidak apa-apa, Pak. Saya senang Bapak selamat. Saya mengangkat lukisan Bapak kemarin karena saya ingin menarik perhatian Bapak. Bapak sudah di tepi rawa waktu itu. saya kuatir Bapak jatuh. Tadi saya berjaga-jaga dan menyiapkan tambang karena saya kuatir Bapak asyik memandang lukisan dan terperosok ke dalam rawa!" kata Mumu. Mumu, si pelayan setia mendapat hadiah dan kembali bekerja lagi pada Pak Saiful. Kasih sayang seorang anak pada anjingnya, kasih sayang seorang pelayan pada majikannya membuat Pak Saiful makin menyadari arti kasih sayang. Dan sebagai rasa syukur, Pak Saiful memberikan hasil penjualan lukisan itu pada Panti Asuhan. ******

Kesulitan Pita
Oleh: Tirta Ningrum (Bobo No. 4/XXIX)
Seluruh murid kelas VA tahu kalau Pita jago matematika di kelas itu. Dengan mudah Pita bisa mengerjakan soal-soal yang menurut teman-temannya sangaat sulit. Pita memang senang pelajaran matematika. Dan jika hasil ulangan dibagikan, ia selalu mendapat nilai paling tinggi di kelas. Tidak heran bila sebulan lalu Pita menjadi juara ke II lomba matematika SD sekecamatan. "Kuncinya adalah rajin mengerjakan soal dan tidak putus asa!"jawabnya ketika ditanya rahasia suksesnya. Namun...lain halnya dengan pelajaran sejarah. Dalam pelajaran ini Pita sangat ketinggalan dibandingkan dengan teman-temannya. Angka-angka yang diperolehnya tidak sehebat angka matematikanya. Dan hal itulah yang terjadi hari ini. Begitu menerima hasil ulangan sejarahnya, Pita melihat angka lima setengah menghiasi kertas ulangannya. "Pit, dapat berapa kamu? "tanya Susi teman sebangkunya. "Biasa, jelek lagi, jelek lagi! Pusing aku!" jawab Pita setengah putus asa. Susi sendiri mendapat nilai delapan, karena selain menyukai pelajaran sejarah, ia telah mempersiapkan diri dua hari untuk belajar sebelum ulangan. Dan bagi dirinya, sejarah tidaklah sesulit matematika yang membingungkan itu. Sebenarnya Susi agak prihatin dengan keadaan Pita. Bayangkan, jago matematika di kelas VA, selalu mendapat nilai jelek untuk pelajaran menghapal. Pita pernah bilang padanya bahwa pelajaran menghapal sangat membosankan. "Buat apa, sih, mengingat tahun-tahun yang sudah lewat! Lagi pula mana ada waktu aku menghapal tahun-tahun. Aku sangat repot di rumah!" ujar Pita pasa Susi. Memang, Pita baru mendapat adik baru, Ia sering mendapat tugas menjaga adiknya yang baru berumur 3 bulan bila ibunya sedang sibuk di dapur. Pita sebenarnya sudah berusaha untuk belajar lebih giat pada pelajaran yang sifatnya hapalan. Ia berusaha menghapal tahun-tahun bersejarah. Pita tahu, Pak Dibyo, guru sejarahnya hobi memberi soal yang ada tahun-tahunnya. Tetapi walau ia sudah menghapal mati-matian di malam hari, paginya sudah buyar alias lupa. Apalagi kalau sampai tersandung batu di jalan menuju sekolah! Pasti hapalan Pita di kepala langsung hilang. Ketika sampai di rumah, Susi masih tetap memikirkan kelemahan Pita tersebut. Ia merasa kasihan tapi tak tahu harus berbuat apa. Pita teman akrabnya. Dan Pita sering membantu Susi dalam pelajaran berhitung. Mereka juga sering belajar bersama ketika akan ulangan. Itu sebabnya Susi ingin sekali menolong Pita. Suatu sore, Susi ingin meminjam tip-ex di kamar Mbak Ika. Kakaknya yang baru masuk kuliah jurusan komunikasi itu sedang melipat-lipat kertas kwarto. "Buat apa Mbak, melipat-lipat kertas itu?" tanya Susi. "Mbak sedang membuat ringkasan catatan kuliah. Sebentar lagi, kan, Mbak akan ujian. "Lalu, untuk apa kertas kwarto yang dilipat-lipat itu?" tanya Susi lagi. "Oh…, ini Mbak kasih lihat contohnya," kata Mbak Ika sambil membuka laci meja belajarnya. Ia mengeluarkan kertas kuarto yang sudah dilipat tiga seperti brosur-brosur wisata. Ada juga yang dilipat kecil-kecil agar muat di dalam saku bajunya. Kertas-kertas itu ditulisi ringkasan catatan kuliah. Dan yang lebih menarik lagi, Mbak Ika memberikan warna-warna menarik pada setiap judul pelajaran yang diringkas tadi. "Buat apa diberi warna-warna seperti itu, Mbak?" tanya Susi keheranan. "Supaya menarik untuk dibaca dan mudah untuk menghapalnya. Susi kan tahu, Mbak tidak suka menghapal pelajaran cuma dalam semalam. Wah, nggak janji bisa hapal! Makanya Mbak buat ringkasan catatan yang dilipat-lipat dan bisa disimpan di saku ini. Jadi dimana pun Mbak berada, di bus, atau saat menunggu sesuatu, ringkasan ini tinggal dibuka! Menghapal sedikit-sedikit akan mudah diingat daripada menghapal sekaligus!" panjang-lebar Mbak Ika menerangkan manfaat ringkasan tersebut. Susi langsung lupa dengan niatnya semula untuk meminjam tip-ex Mbak Ika. Ia jadi teringat pada Pita… Ah, sepertinya ia telah mendapat jawaban untuk mengatasi kesulitan Pita dalam menghapal pelajaran sejaran. Tidak sabar ia menunggu esok hari untuk bertemu Pita di sekolah. Ia ingin menyampaikan cara Mbak Ika mengatasi kesulitan menghapal pelajaran. Susi berharap, nilai-nilai Pita nantinya akan sebagus nilai matematikanya.
Jangan Buka Amplop Ini
Oleh: Ellen Kristi (Bobo No. 8/XXIX)
Erin memegang surat itu dengan kedua belah tangannya. Ia penasaran. Memang tadi Ibu Guru telah berpesan jelas, jangan buka amplop ini. Tapi ia begitu ingin tahu. Mengapa tidak boleh dibuka? Adakah isinya sesuatu yang sangat rahasia? Di atas amplop tertulis: kepada yang terhormat Bapak/Ibu Rifki. Bapak dan Ibu Erin. Apa sebabnya Ibu Guru menulis surat kepada Bapak dan Ibu? Erin tak berhenti berpikir sambil melangkah pulang. Aneh, aneh sekali. Sebelumnya tidak pernah Ibu Guru menulis surat khusus kepada Bapak dan Ibu. Paling-paling pemberitahuan jadwal tes, atau rapat orang tua murid, atau peringatan membayar uang sekolah. Bentuknya pun bukan surat, tidak pakai amplop, hanya di-staples biasa saja. Erin hafal betul. Lalu sikap Ibu Guru tadi pun janggal. Memang masih tersenyum ramah seperti biasa, namun nada suaranya berbeda. Ibu Guru serius sekali memperingatkan Erin agar jangan sekali-sekali membuka amplop ini. Dan untuk itu Ibu Guru sampai merasa perlu memanggil Erin secara pribadi, bertemu empat mata. Erin agak takut sekarang. Mungkinkah Ibu Guru telah melihatnya mencontek waktu ulangan sejarah tiga hari yang lalu? Erin mengaku malam sebelum ulangan ia malas belajar, jadi dia tidak membuka buku sama sekali. Akhirnya saat menghadapi soal ia kebingungan, kemudian ia mengintip jawaban Muna yang duduk di depan. Tentu Ibu Guru hendak melapor perbuatan buruk Erin pada Bapak dan Ibu. Keringat menetes di punggung Erin, di balik bajunya. Ia ingat, dalam satu minggu terakhir masih ada beberapa perbuatan buruk lain yang Ibu Guru tentu tidak senangi. Hari Senin, dia melempar kepala Bona dengan kapur. Hari Selasa, dia memasukkan seekor kaki seribu ke dalam tempat pensil Lia samapi-sampai Lia menangis ketakutan. Hari Rabu, dia mematahkan penggaris Dion. Hari Kamis, dia buang air besar di kamar kecil sekolah tapi sengaja tidak mau menyiram. Hari Jumat, dia mengatai Kiki "Si Gendut" dan Kiki melaporkan Erin pada Ibu Guru sambil marah-marah. Erin yakin, Ibu Guru menganggapnya anak yang nakal sekali. Jelaslah hari ini Ibu Guru hendak melaporkan semua tingkah laku jelaknya pada Bapak dan Ibu. Erin menendang tiang listrik dengan jengkel. Terus terang rasanya Ibu Guru agak keterlaluan. Sebetulnya tidak perlu melaporkan Erin pada Bapak dan Ibu. Nakalnya Erin kan belum seberapa dibanding Bono. Bono pernah berkelahi babak belur dengan anak kelas lima di halaman belakang sekolah. Atau Dion? Dion juga nakal. Dion sering memakai uang sekolah untuk jajan. Dan bagaimana dengan Rashid, Teo, Mose? Semua nakal. Juga Lia. Lia itu kalau menangis super keras. Erin pikir Ibu Guru perlu memperingatkan orangtua Lia supaya anaknya tidak terlalu cengeng. Hampir sampai di rumah. Erin menimang-nimang amplopnya. Kalau Bapak dan Ibu mengetahui kenakalan Erin, Erin bisa dihukum. Uang jajan distop. Tidak boleh nonton tivi. Tidak boleh main play-station. Tidak boleh ke rumah Eyang. Erin melirik jam tangan. Siang hari begini Ibu sedang sibuk memasak, Bapak pun belum pulang dari kantor. Erin memasukkan amplop ke dalam tasnya. Ia berlari, tergesa membuka pagar, membuka sepatu, mengucapkan salam kepada Ibu, masuk ke kamar dan langsung membongkar tumpukan bukunya. Erin ingat pernah membaca di salah satu buku cerita tentang cara membuka amplop tanpa merusakkannya. Dia harus tahu apa yang ditulis Ibu Guru kepada Bapak dan Ibu. Setidaknya, dia bisa menyiapkan tanggapan bila Bapak dan Ibu memarahi dia. Mana ya bukunya? Aha, ini dia! Erin lekas membolak-balik halaman buku tersebut. Hm, hm, panaskan air hingga mendidih, biarkan amplop terkena uap air, maka lemnya akan terbuka sendiri. Bagus, setelah itu Erin dapat mengelemnya kembali. Erin berdebar-debar mengambil satu baskom besar. Ia berjingkat ke dekat dispenser, mengucurkan air panas. Uap air mengepul-ngepul. Erin tersenyum, segalanya berjalan lancar tapi ia harus cepat-cepat, jangan sampai uapnya nanti habis. "Lo, Erin, untuk apa air panas sebanyak itu?" Nyaris Erin menjatuhkan baskom saking kagetnya. Celaka! Ibu sejak tadi ternyata memperhatikan dari belakang. Tarik napas, satu-dua, satu-dua. Erin berusaha menenangkan diri, toh Ibu tidak tahu apa yang sedang dia rencanakan. "Rahasia, Bu!" Erin menjawab singkat. "Eh, sama Ibu kok main rahasia-rahasiaan?" Ibu sedikit mengerutkan kening. Pokoknya penting, deh, nanti Ibu juga tahu," sahut Erin seraya bergegas mengangkut baskom ke kamar. Ibu mengedikkan bahu dan melanjutkan masak-memasaknya. Sesampainya di kamar, Erin menghembuskan napas penuh kelegaan. Untung Ibu tidak cerewet, jadi dia tidak usah berbohong. Erin paling takut membohongi Bapak dan Ibu. Nah, langkah berikutnya adalah segera menguapi amplop Ibu Guru. Satu menit, dua menit. Coba, dibuka pelan-pelan. Kertas amplopnya jadi agak basah. Mulai terbuka. Ayo, ayo, sedikit lagi. Tahan napas dan … bret! Muka Erin pucat seketika. Celaka, amplopnya robek. Robeknya besar. Bagaimana ini? Bagaimana ini? Bapak dan Ibu pasti tahu bahwa amplopnya sudah dibuka. Erin mesti mengganti amplopnya, tapi dia tidak punya amplop berkop sekolah. Lalu tulisan Ibu Guru di bagian depan amplop? Erin mustahil mencontoh tulisan Ibu Guru yang rapi itu. Selama beberapa menit Erin hanya memandangi amplop yang robek. Bingung. "Dasar amplop jelek!" gumamnya pelan. Apa sih yang ditulis Ibu Guru? Erin mencabut secarik kertas dari dalam amplop. Tidak peduli ketika cara mencabutnya yang kasar itu menambah lebar robeknya amplop. Biarkan saja, telanjur robek ya biar robek. Yang penting Erin mau tahu isi surat Ibu Guru. Buka lipatan kertas suratnya. Hei, apa-apaan ini? Erin tertegun. Kertas itu ternyata kosong. Iya, sungguh-sungguh kosong, tidak ada tulisan satu huruf pun. Ho-ho, sepertinya Ibu Guru salah memasukkan kertas ke dalam amplop. Surat kosong macam ini tidak perlu disampaikan kepada Bapak dan Ibu. Jadi, amplop robek pun tidak masalah. Erin lega, sangat lega. Dengan wajah ceria ia menghambur keluar kamar. "Erin, kamu ngapain di kamar? Kenapa lama sekali baru keluar? Tadi Ibu panggil-panggil kamu tidak menyahut. Baru saja Ibu mau menyusul ke kamarmu. "Ibu mengambilkan piring untuk Erin. "Lha, kok seragamnya juga belum dicopot?" "Iya nih, Bu, belum sempat ganti baju. Habis Erin repot banget." "Butuh bantuan Ibu untuk mengerjakan tugasnya?" Erin buru-buru menggeleng kepala. "Sudah beres, kok." Hari ini Ibu tidak masak ikan kesukaannya, tapi Erin merasa lapar sekali dan menyantap makan siangnya dengan lahap. Empat hari berlalu. Erin lumayan tenang karena Ibu Guru sama sekali tidak memanggilnya untuk menanyakan tentang surat kemarin. Hari kelima Erin bahkan hampir melupakan surat itu. Pada akhir pelajaran, Ibu Guru mengetukkan penggaris kayu pada papan tulis. Seisi kelas diminta tenang. "Coba perhatikan ke depan semuanya!" perintah Ibu Guru. "Sebelum pulang, Ibu ingin menanyakan kepada kalian, apa kalian semua telah mempelajari dengan baik bahan ulangan PPKN minggu depan?" Hampir semua serempak menjawab, "Sudah, Bu!" "Bagus," Ibu Guru tersenyum senang. "Tetang apa itu?" "Bersikap jujur dan berani, Bu!" lagi-lagi seisi kelas bersamaan. "Baiklah. Ibu mengingatkan, belajar bersikap jujur dan berani itu penting sekali. Bukan cuma untuk dihafalkan, tapi terutama dilakukan. Kalian mengerti?" "Mengerti, Bu!" "Sekarang Ibu mau tanya. Sekali lagi, bersikaplah jujur dan berani. Siapa yang dari antara kalian tidak menyampaikan surat titipan Ibu kepada orangtua?" Kelas sunyi senyap. Erin turut bungkam seribu bahasa. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri, teman-temannya pun tampak gelisah. Mata mereka saling bertemu. "Ayo, bersikaplah jujur dan berani. Siapa yang tidak menyampaikan surat harap berdiri, dan siapa yang membuka sendiri surat itu tanpa sepengetahuan orangtua maju ke depan. Ibu sudah menelepon orangtua kalian masing-masing. Jadi Ibu sudah tahu siapa yang tidak menyampaikan surat itu …" Dengan perasaan kacau Erin berdiri lalu berjalan ke muka kelas. Ia luar biasa malu. Namun rupanya dia tidak sendiri. Bono juga maju. Lantas Teo, Dion, Lia, Muna …. *****


Anak Kincir Air
Oleh: Ekky Armanda (Bobo No. 13/XXIX)
Sudah seminggu ini lapangan dekat sekolah kami kedatangan rombongan sirkus. Ada kincir air, sulap, kereta api mini, topeng monyet, penjual martabak. Lapangan kecil yang biasa kami gunakan untuk olah raga kini dipenuhi rombongan sirkus itu. Karcis yang dijualnya seribu rupiah. Di stan kincir air ada seorang anak lelaki yang pandai berpromosi menggunakan pengeras suara. Suaranya melengking tinggi membuat orang-orang tertarik dan membeli karcis untuk naik kincirnya. Saat bertugas, ia selalu tampil rapi. Memakai jas dan dasi kupu-kupu, serta sepatu gelap. Ia sering mengintip ke kelas kami. Jika kami dekati, ia berlari ke perkampungan sirkusnya. Suatu sore aku dan kakakku mengantar adikku naik kincir air. Aku bersemangat karena sangat suka melihat tingkah anak penjaga kincir itu. Namun sore ini dia hanya duduk-duduk di bangku pintu masuk membantu menyobek karcis. Wajahnya lesu. "Kok tidak jadi pembawa acara?" sapaku. "Sedang sakit," jawabnya sembari menyobek karcis. "Sakit apa?" kataku mendekatinya. Adikku sudah naik bersama Kakak. Ia tidak menjawab tetapi malah balik bertanya. "Tidak naik?" tanyanya. Kali ini agak tersenyum sedikit. "Malas, "jawabku enteng. Kami berbincang-bincang agak lama. Setelah adik dan kakakku turun, aku terpaksa berpisah dengannya. O…ya, nama anak itu Slamet Susetyo. Ia ikut rombongan karena bapaknya adalah penanggung jawab kincir air itu. Katanya, mula-mula bapaknya tidak mengizinkan ia ikut rombongan sirkus, karena ia harus sekolah. Tapi karena pernah ikut rombongan saat liburan panjang, Slamet jadi ketagihan dan lupa sekolah. "Aku sudah melihat hampir seluruh kota di Pulau Jawa, " kata Slamet bangga sewaktu kutanya apa untungnya ikut sirkus. "Tapi sekolahku jadi tidak karuan. Tahun ajaran baru mungkin aku akan pulang ke rumah, sekolah lagi di tempat Nenek. Biar Bapak dan Ibu saja yang keliling …," katanya menerawang. Dua hari ini Slamet tidak pernah kelihatan di emperan sekolah kami. Rupanya sakitnya membuat ia malas keluar. Padahal suaranyalah yang membuat orang-orang tertarik naik kincir. Keesokan harinya, suara riangnya kembali terdengar. "Ayo ayo ayo! Bapak-bapak, Ibu-ibu, kakak-kakak, adik-adik sekalian … bersama kami terbang ke angkasa, berputar, rasakan ketegangannya …," begitu teriaknya diselingi jogetan kecil mengikuti irama musik yang keluar lewat pengeras suaranya. Aku gembira ia telah sembuh. Melihat aku mendekatinya ia melambaikan tangan sembari tersenyum. "Besok aku ke sekolahmu, boleh?" "O…bbbooo…leh," jawabku gagap. Sore itu aku naik kincir air. Gratis. Pagi berikutnya kulihat Slamet sudah berada di dekat pintu pagar. Melihat aku, ia tersenyum dan melambaikan tangannya. Kali ini pakaiannya rapi walaupun tidak memakai seragam merah-putih. "Saya ikut ke dalam kelas boleh tidak?" "O…boleh…" jawabku tanpa pikir panjang. Padahal aku belum minta izin pada guruku. Belum sempat aku berpikir panjang, bel masuk berbunyi. Kami masuk. Slamet duduk di sampingku. Teman-teman heran melihat aku menggandeng anak yang penampilannya agak lusuh. Belum sempat kukenalkan Slamet pada teman-teman, Bu Wiwi masuk. "Selamat pagi anak-anak…!" "Selamat pagiiiiii….Bu…" jawab kami serentak. "Lo? Itu siapa?" tanya Bu Wiwi menunjuk Slamet. Aku diam. Bingung. Slamet menginjak sepatuku. Aku diam saja. Kulihat Bu Wiwi mendekatiku tetapi aku tak berani memandangnya. "Pindahan dari mana?" Slamet menundukkan kepalanya. Kakiku diinjaknya sekali lagi. "Sudah lapor pada Kepala Sekolah?" tanya Bu Wiwi. Slamet mulai gelisah. Keringatnya menetes dari dahi dan bawah telinganya. Tiba-tiba Slamet berdiri dan berlari keluar kelas. Tanpa pikir panjang kukejar dan kuajak kembali ke kelas. "Maaf, Bu. Ini teman saya, namanya Slamet Susetyo. Slamet ini bekerja pada sirkus, ikut ayahnya. Ia ingin ikut belajar, Bu," ujarku memberanikan diri. "Ya, aku ingin sekolah lagi. Aku menyesal ikut Ayah di sirkus… " ucap Slamet sembari meremas-remas jari-jarinya. Bu Wiwi memandang Slamet dengan ramah. "Kamu yang setiap sore menjadi pembawa acara di kincir air, ya? Mau ikut sekolah?" tanya Bu Wiwi sembari memegang kedua bahu Slamet. Slamet mengangguk sambil tersenyum. "Bagus. Anak-anak mari kita mulai pelajaran ini dengan mendengarkan ceirta teman baru kita. Setuju?" Tanpa dikomando kami bersorak-sorai. Mendengarkan cerita Slamet, kami jadi bersemangat belajar. Ya, Slamet mengajari kami bagaimana menjalani dan mengisi hidup ini. Ia mengajari kami untuk tetap semangat belajar!



Sama-Sama Berjuang
Oleh: Ny. Widya Suwarna (Bobo No. 20/XXIX)
Ika sedang mengepel lantai, namun pikirannya melayang-layang. Baru seminggu ia tinggal di Jakarta dan rasanya ia tak tahan. Oom Hari dan Tante Ester baik kepadanya. Kawan-kawan di sekolah juga baik. Namun, ia selalu rindu untuk kembali ke desa di pantai Utara Pulau Jawa. Ia teringat rumahnya, halamannya yang luas, pohon petai, pohon pisang, kandang-kandang ayam, air sumur yang sejuk, dan suasana akrab dengan tetangga. Namun, ayah Ika yang semula bekerja di tambak udang kini tidak memiliki pekerjaan lagi. Tambak tempatnya bekerja sudah dijarah. Pemiliknya belum mau lagi menanam benih udang. Ika terpaksa dititipkan pada Tante Ester, adik ayah di Jakarta. Oom Hari dan Tante Ester bekerja, jadi mereka sanggup membiayai Ika. Bila ayah Ika sudah mendapat pekerjaan, Ika akan kembali ke desa. Di rumah gedung berpagar tinggi Ika merasa sepi dan terasing. Baru saja ia selesai mencuci kain pel, bel pintu sudah berbunyi, "Ning, nong!" Ika berlari ke depan sambil membawa kunci gembok. Aaah, kalau di desanya, pintu rumah tak perlu digembok. "Selamat sore, Tante!" sapa Ika sambil membukakan pintu. "Sore. Bagaimana PR-mu? Sudah dibuat?" tanya Tante Ester. Ia membawa tas kerja dan tas plastik. "Sudah, Tante. Ika baru selesai mengepel lantai!" jawab Ika. Tante Ester masuk ke dalam dan Ika kembali menggembok pintu. Di meja makan Tante Ester mengeluarkan sebuah kotak. "Makanlah, ada roti enak. Setelah itu, tolong antar dua potong roti ke rumah nomor 25 Blok AB di jalan belakang rumah kita. Di situ tinggal Oma Nani dan pembantunya!" kata Tante. "Terima kasih, Tante. Biar Ika antar roti ini dulu untuk Oma Nani. Makan rotinya nanti saja!" kata Ika sambil memisahkan dua potong roti untuk Oma Nani. "Nomor 25, nomor 25!" gumam Ika sambil mencari rumah Oma Nani. Ia berbelok ke kiri. Tangan kanannya memegang kunci gembok. Ika masih merasa aneh, ke mana-mana harus membawa kunci gembok. Rumah nomor 25 kecil, halamannya kurang terawat. Ika menekan bel dan kemudian muncul seorang wanita. Ia pembantu Oma Nani. "Mbak, saya Ika, keponakan Bu Ester. Ini ada roti untuk Oma Nani dari Bu Ester!" kata Ika dari balik pagar. "Ooh, masuklah. Oma Nani senang kalau ada tamu!" wanita itu membuka kunci gembok dan mengajak Ika masuk. Di ruang tamu, ada seorang nenek berambut putih keriting sedang duduk di kursi roda. Wajahnya tampak sedih. "Oma, ini Ika, keponakan Bu Ester. Ada roti untuk Oma dari Bu Ester!" lapor Mbak tadi. Oma Nani tersenyum. Ada kilatan kegembiraan di matanya dan sedikit kecerian di wajahnya, namun kemudian redup kembali. Oma Nani menghela napas. "Sampaikan terima kasih Oma pada tantemu. Masih ada yang mau memperhatikan Oma, orangtua yang tidak berguna ini!" kata Oma Nani. Kemudian Oma Nani minta Ika bercerita tentang keluarganya. "Oma kenal ayahmu. Dulu Oma juga tinggal di desamu!" kata Oma Nani. Oma Nani menanyakan kali tempat orang-orang mencuci baju, Kakek Kiman pembuat dandang tembaga, masakan pepes udang yang dulu digemarinya, dan sebagainya. Selama bercakap, berkali-kali Ika melihat kegembiraan di wajah Oma Nani. Namun kegembiraan itu lalu redup kembali disertai helaan napas. "Sekarang Oma sudah tua, lumpuh, tidak berguna lagi! Tapi, kita harus tabah, ya." Aneh! Ika tiba-tiba merasa dikuatkan setiap kali Oma Nani berkata 'kita harus tabah, ya'. Dan kerinduannya akan kampung halaman pun terobati. Tiba-tiba Ika ingat, ia harus pulang. Mungkin Tante Ester cemas menantinya. "Oma, Ika harus pulang. Terima kasih ya, Oma. Ika sering merasa ingin kembali ke desa dan tidak betah di Jakarta. Tapi mendengar Oma berkata 'kita harus tabah', Ika menjadi kuat lagi. Ika mau bertahan tinggal di sini! Terima kasih, ya Oma," Ika menjabat tangan Oma erat-erat. Tiba-tiba wajah Oma Nani bersinar. Tangannya menjadi hangat dan air mata menetes turun membasahi pipinya. "Oooh, Ika, omalah yang harus berterima kasih. Rupanya masih ada gunanya Oma hidup di dunia. Tak disangka Oma masih bisa memberikan semangat pada orang lain!" kata Oma Nani. Ia menatap Ika dengan sorot mata penuh terima kasih. Ika pun merasakan air matanya mengalir turun. "Ika, mari kita sama-sama berjuang. Oma akan berjuang melawan penyakit Oma. Kamu pun berjuang untuk menyesuaikan diri di Jakarta. Datanglah ke sini kapan saja kamu mau bicara dengan Oma!" kata Oma Nani. Ika menghapus air matanya. Beban beratnya sudah hilang. "Isah, tolong dorong kursiku ke depan. Aku mau mengantar Ika ke depan!" Oma Nani memanggil pembantunya. Dalam sekejap Isah sudah muncul. "Wah, kemajuan sekali. Apa Oma mau mengantar Ika sampai ke rumahnya? Sudah lama kita tidak jalan-jalan ke luar!" kata Isah. "Sampai di depan pintu sajalah. Besok pagi kita akan mulai jalan-jalan lagi!" kata Oma Nani. "Terimakasih, ya, Neng Ika, sudah memberi Oma semangat!" kata Isah dengan wajah ceria dan penuh semangat. "Omalah yang memberi semangat padaku, Mbak Isah!" kata Ika. Di perjalanan pulang, hati Ika terasa hangat. Aneh, tapi nyata. Perjumpaan tadi ternyata membuat Oma Nani dan Ika mendapat semangat baru. Mbak Isah pun menjadi ceria. Dan itu dimulai dengan kebaikan hati Tante Ester, yang ingin memberi sedikit perhatian pada tetangga. Ika tidak lagi berpikir dirinya terkurung di rumah berpagar tinggi. Kini ia merasa bersyukur bisa menumpang di rumah Tante Ester yang baik hati. Dan ia pun memiliki kawan yang sama-sama berjuang melawan kesulitan masing-masing.


Tersinggung Pada Kuda
Oleh: Ny. Widya Suwarna (Bobo No. 26/XXIX)
Raja amat sayang dan bangga pada kuda hitamnya. Si Hitam tampak gagah dan anggun, bulunya berkilat dan ringkiknya kuat. Sekali-sekali Raja mengendarainya keliling istana. Suatu pagi, Raja singgah di kandang kuda yang terletak di halaman belakang istana. Raja amat heran ketika melihat Mista, si penjaga kuda, sedang menyuapi si Hitam. Di dekat tempat rumput ada baskom kecil, entah berisi cairan apa. Dan si Hitam makan rumput dengan lahap. "Wow, rupanya si Hitam ini kuda manja. Makan saja disuapi!" komentar Raja. Segera Raja membungkuk, mengambil segenggam rumput dan mencoba menyuapi si Hitam. Olala, si Hitam melengos, tak mau disuapi Raja. Tanpa banyak bicara, Raja segera meninggalkan kuda kesayangannya. Hatinya marah, wajahnya merah padam. "Keterlaluan! Disuapi Raja, malah tidak mau! Si Hitam benar-benar telah menghinaku!" umpat Raja sambil berjalan masuk ke dalam istana. "Kalau kusuruh orang membuang si Hitam ke hutan, tentu orang-orang akan heran. Dan si Mista pasti akan bercerita, bagaimana si Hitam menghinaku. Huh, namaku tentu akan cemar!" pikir Raja. Di dalam istana Raja menyibukkan diri membaca surat-surat yang masuk. Ia berusaha melupakan ulah si Hitam yang tak mau ia suapi. Namun hatinya tetap marah. Kepada siapa ia harus bercerita? Saat makan malam, Raja makan dengan murung. Selesai makan, akhirnya raja tak tahan lagi. Ia menceritakan kejadian pagi itu pada permaisuri. "Bayangkan, seekor kuda menolakku. Si Hitam tak mau kusuapi. Benar-benar aku merasa terhina!" keluh Raja. Permaisuri mendengarkan cerita Raja dengan serius lalu berkata, "Aaah, tak usah diambil hati. Mungkin saja si Hitam sudah kenyang! Pergilah ke kandang dan coba berikan rumput saat si Hitam sedang lapar!" Jawaban permaisuri sedikit menghilangkan kekesalan di hati Raja. Namun, Raja tetap ingin tahu, apa sebabnya si Hitam tak mau makan rumput dari tangannya. Raja akhirnya menyuruh Pak Kosim untuk menyelidiki hal ini. Pak Kosim adalah tukang cukur raja. Raja sangat mempercayainya, sebab Pak Kosim pandai menjaga rahasia. "Baiklah, Baginda. Hamba akan mencari tahu, mengapa si Hitam tidak mau makan rumput dari tangan Baginda. Hamba akan mengadakan acara cukur gratis untuk karyawan-karyawan istana. Tempatnya di depan kandang si Hitam!" usul Pak Kosim. Raja setuju, dan Pak Kosim segera membuka kios cukur di depan kandang kuda. Beberapa karyawan istana mulai berdatangan untuk mencukur rambut mereka. Sambil mencukur Pak Kosim memperhatikan gerak-gerik Mista, penjaga si Hitam. Setelah tak ada lagi orang yang dicukur, Pak Kosim membereskan peralatannya. Pak Kosim lalu mendekati Mista yang sedang menyuapi si Hitam. Ia mengambil segenggam rumput, memasukkannya ke dalam baskom kecil berisi cairan dan menyuapi si Hitam. Si Hitam menyambut rumput itu dengan lahap. "Kuda istimewa, makannya disuapi oleh penjaga yang istimewa juga!" puji Pak Kosim. "Aah, Pak Kosim! Kudanya memang hebat. Penjaganya sih biasa saja!" kata Mista merendah. Pak Kosim tersenyum, "Jangan merendah. Akan kubuktikan kalau kau memang istimewa!" ujar Pak Kosim. Ia lalu mengambil segenggam rumput, dan menyuapi si Hitam. Namun si Hitam melengos. Pak Kosim tertawa, "Tuh, lihat sendiri! Si Hitam tak mau kusuapi. Ia hanya mau disuapi olehmu, penjaganya yang istimewa!" ujar Pak Kosim. Mista tertawa juga. "Hahaha, kalau tahu caranya, si Hitam sih mau saja disuapi siapa pun. Buat si Hitam yang penting bukan siapa yang menyuapinya. Yang penting rumputnya harus dicelup ke air madu dulu!" Mista menjelaskan. Ia mengambil segenggam rumput, mencelupkannya ke dalam air madu dan menyuapi si Hitam. Pak Kosim mengikuti jejak Mista. Ternyata benar! Si Hitam memakan rumput dari tangan Pak Kosim dengan lahap. Hati Pak Kosim berbunga-bunga karena ia sudah berhasil menyeselaikan tugas dari Raja. "Apa pun, kalau tahu caranya jadi mudah. Kalau belum tahu caranya ya susah!" kata Mista. Pak Kosim bergegas menghadap Raja. Ia menjelaskan rahasia rumput si Hitam. Betapa lega hati raja. "Hahaha, bodoh sekali. Mengapa aku bisa tersinggung pada kuda, hahaha…" tawa Raja di dalam hati. Pak Kosim mendapat sekantung uang emas. Ia pulang ke rumahnya dengan amat gembira.

No comments: